Mohon tunggu...
AL ARUDI
AL ARUDI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dan membaca untuk mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setan Itu Memfitnah Ibuku

28 Juli 2024   08:55 Diperbarui: 28 Juli 2024   08:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay sumber gambar

Aku merasa ada yang aneh dengan orang tua yang sudah keriput itu.

"Hai anak muda! Kau seharusnya tak perlu berziarah dan mendo'akan ibumu! Ibumu tak layak menerima do'a. Dosa-dosanya sudah setinggi gunung. Tidak mungkin Allah akan mengampuninya!" Nenek itu menyeringai. Giginya yang hitam dan sebagian ompong membuat aku jijik melihatnya. Matanya melotot tajam menatapku, walaupun aku tak telalu jelas melihatnya. Sebagian mata nenek itu tertutup. Dengan caping bambu.

Dadaku terasa bergetar mendengar ucapan wanita tua itu. Darahku terasa panas. Aku seperti disambar geledek ketika mendengar ibuku memiliki dosa setinggi gunung. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya yang sudah keriput dan peot itu. Namun aku berusaha menahan emosiku. Lebih baik aku mengetahu dulu siapa sebenarnya wanita peot yang ada di depanku.

"Hai, siapa kau! Tiba-tiba datang dan melarangku untuk ziarah dan berdo'a di makam ibuku! Aku tidak mengenal kamu! Aku tidak pernah ketemu kamu sebelumnya!" balasku dengan tatapan tajam ke arah tua bangka itu.

"Hik...hik..hik!" Dia cekikikan aneh. "Kau tidak perlu tahu siapa aku anak Muda! Aku sudah kenal siapa ibumu dan siapa dirimu. Bahkan sebelum ibumu dan kamu lahir aku sudah kenal kalian!"

Orang tua aneh pikirku. Aku belum pernah mendengar tawa orang tua cekikan seperti itu. Pendengaranku terasa ganjil. Ucapannya juga sombong.

"Lalu apa maupun berkata seperti itu di hadapanku! Dan sejauh mana kau mengenal ibuku, hah!" ujarku sambil menatap wanita peot itu dengan tajam.

Mata nenek- nenek itu masih melotot memandangku. Dari sorot matanya seperti menyimpan dendam tujuh turunan.

"Hai anak muda...! Ibumu adalah pelacur. Ibumu Bukanlah orang naik-baik. Mendingan kamu pulang Tidak perlu kau menziarahi makam ibumu. Dia sudah ditakdirkan jadi penghuni neraka!" ujarnya.

Darahku terasa mendidih. Tubuhku bergetar. Aku berjuang menahan emosi ketika dia mengatakan ibuku pelacur. Tapi aku berusaha agar tak mengeluarkan kata-kata kasar dan keras di depan makam ibuku.

"Hai orang tua gila! Kamu jangan ngomong sembarangan ya! Mana mungkin ibuku seorang pelacur! Ibuku selalu mendidikku untuk dekat dengan Allah. Tidak pernah aku melihat ibuku berpakaian seperti pelacur!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun