Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Idealis dan Cinta Liberalis: Jalan Menuju Cinta Alternatif

1 Juli 2016   11:50 Diperbarui: 1 Juli 2016   17:21 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bukan saja faktor tidak laku atau beruntung mendapat pasangan se-ra-si.Ada pula yang merasa gengsi dan terjerumus oleh lingkungan, karena kebanyakan teman dan kerabat memiliki pasangan sedangkan dia belum. Bukan karena tidak laku, karena memang belum mencoba, akan tetapi karena melihat lingkungan sosialnya yang menggiring dia untuk pacaran, maka ‘siapa saja’-lah. Cinta seperti dapat digolongkan ‘cinta pasaran’ dalam cengkraman kapitalisme, dimana pecinta lebih berkedok demi citra diri di hadapan kerabat dan saudara, artinya hanya mengikuti selera pasar.

Terkadang orang-orang yang memiliki aliran cinta liberalis bukan keseluruhannya diakibatkan tidak lakunya atau tidak beruntungnya mendapat pasangan. Adakalanya yang karena beruntung maka banyak orang yang dijadikan pasangan. Tipikal seperti ini dapat dikatakan playboy/girldan bagi orang yang beraliran cinta idealis akan menganggap, bahwa orang playboy/girlitu perusak keindahan cinta. Maka ‘siapa saja’-lah asalkan mampu memuaskan batin.

Cinta Aswajais, Jalan Cinta Alternatif

Ada seorang teman, kebetulan dia pernah menjabat sebagai Guberner Fakultas pada sebuah perguruan tinggi. Di tengah-tengah forum ngopidengan teman-teman sesama perguruan tinggi. Tiba-tiba ia mencetuskan pemikiran cinta moderat. Artinya, cinta yang dimaksud bukan cinta yang idealis dan juga bukan liberalis, dan baginya cinta moderat inilah alternatif, dan langka sekali yang menggunakannya.

Ketika ditanya landasan argumentasi pemikirannya itu. Ia berseloroh, bibirnya keluar suara kalimat-kalimat Arab, dan jika diucapkan seperti ini, al-Muhafadzotu ‘ala qodiimi ash-Sholihu wal Akhdzu bil Jadiidi al-Ashlahu,artinya: jagalah tradisi lama yang bagus, dan petiklah tradisi baru yang lebih bagus. Teman-teman menggugat landasan argumentasinya dia, katanya itu prinsip atau slogan aliran Islam Aswaja atau sunni, bagaimana bisa dikaitkan dengan persoalan ‘cinta’.

Sebelum menjawab, temanku tadi menyeduh kopi, berhenti sebentar, lalu menghisap rokok dan meniupkan ke angkasa. Lalu ia berkata dengan tenangnya, bahwa maksud dari slogan atau maqolahAswaja yang dikaitkan dengan cinta (pacaran) memiliki arti tersendiri baginya, yaitu pacar lama yang baik harus dijaga dan kalau perlu setia sampai kakek-nenek, tetapi ambil-lah pacar baru yang lebih menarik, lebih cantik, lebih menawan. Dan saya beserta teman-teman lainnya melongo mendengar penjelasannya.

Seakan akan-akan tidak ada kategori cinta yang terbaik, karena memang cinta itu relatif, intim, dan subjektif. Rasa dan selera setiap manusia memang tidak selalu sama, tetapi bercita-cita dan berusaha menjadi manusia kamiladalah tujuan yang harus ditempuh, walau terkadang perbuatan terkesan berlawanan dengan tujuan itu, tetapi kenyataannya adalah jalan menuju pembentukan manusia kamil(sempurna).

Surabaya, Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun