Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Idealis dan Cinta Liberalis: Jalan Menuju Cinta Alternatif

1 Juli 2016   11:50 Diperbarui: 1 Juli 2016   17:21 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mula-mula kita dari ‘cinta idealis’, apa itu. Terkadang, dan kebanyakan juga begitu, para muda-mudi terutama mereka yang tengah menduduki di bangku SMA atau awal-awal kuliah akan masih terpesona dan terangan-angan sampai terbuai dengan tampilan, peragaan, alur cerita dalam ceritapendek, novel, film, sinetron tentang cinta. Ingat dengan film Titanic, ketika muda-mudi itu melihat cerita, tokoh, alur, adegan demi adegan, maka secara tidak langsung para penonton, muda-mudi itu, menganggap dan mengkhayal pemeran tokoh dalam film Titanic adalah ‘aku!’. Bagi yang laki-laki menjadi Jack  dan perempuan menjadi Rose.

Tidak selesai disana, para muda-mudi paska menonton film Titanic atau film romantis lainnya akan terbawa dan dikhayalkan sampai ke dunia nyata. Dan ketika memang mereka memiliki pasangan maka akan dianggap pasangan mereka adalah pemeran dalam cerita itu. Maka pembicaraan, obrolan, pernyataan hampir banyak meniru kalimat-kalimat film romantis yang telah menginspirasi.

Tidak jarang, muda-mudi itu menganggap pasangannya adalah cinta sejati. Padahal mereka tidak tahu apa itu cinta sejati. Muda-mudi itu hanya mengkhayal, hanya khayal, seolah-olah dia cinta sejati (ku), walau kenyataan tidak.

Padahal kalau boleh dikaji secara kritis. Jika dikomparasikan antara kehidupan muda-mudi dengan potret kehidupan tokoh film yang menjadi inspirasi mereka itu begitu jauh, bahkan tidak mempunyai titik temu, entah, berbagai macam faktor, baik budaya, etnik, geografis. Jikalau dikatakan si pasangan adalah cinta sejati, kenapa tidak mau diajak berjuang bersama-sama, kenapa tidak bisa diajak hidup soro(susah) bersama. Buktinya, selama pacaran kenapa agenda ngedetdilakukan hanya (kebanyakan) berdua-duaan saja, dan mencari tempat-tempat yang remang dan menyenangkan saja. Dan jika menyenangkan kenapa mereka tidak berfikir untuk membagi kesenangan bersama rakyat?.

Inilah giringan budaya pop barat dan akibat lanjutannya masyarakat tercerabut dari fakta sosial kehidupan dan keharusan bermasyarakat. Pada akhirnya menciptakan masyarakat yang individualis, hedonis, dan acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, tapi intinya: “kau dan aku bahagia selamanya, dan hanya kamulah cintaku, hanya kamu”.Kata-kata yang nyaris miripfilm-film romantis yang diadopsi oleh muda-mudi untuk sekedar meluluhkan hati pasangan.

Terkadang, jika pasangan telah memutuskan untuk pergi (putus) atau mendapat teguran dari pihak lain (orang tua atau kerabat) agar berpisah. Terkadang pasangan yang diputuskan itu masih menganggap dan menyakini dan (bahkan) mengimani bahwa pasangan yang pergi itu tetap cinta sejati. Dan tidak mau berganti pasangan lain, kecuali dia lagi, dia lagi, lagi-lagi dia. Inilah barangkali, definisi cinta sejati itu bergeser menjadi cinta buta. Walau banyak orang yang menyenangi, tetap, dia tetap memilih orang yang ia cintai walau kenyataannya telah memutuskan pergi, selamalamanya. Akhirnya ia rela sendiri (jomblo) dan tidak mecintai dan memacari orang lain kecuali dia, lagi-lagi dia. Dengan alasan idealis dan syar’i, ia berkata: “Aku tidak mau berhubungan orang yang tidak aku cintai, aku tidak mau menyakiti hatinya, aku masih mencintai dia, bagaimana aku berhubungan dengan orang lain sedang aku masih mencintai dia, tak mampu aku membagi hati, jika ada yang sakit di kemudian hari”.

Cinta seperti ini dapat dikategorikan sebagai cinta yang idealis sekaligus syar’i. Sebuah idealisme itu akan selalu terkandung dalam diri seseorang jikalau ia masih menyakini sebagai kebenarannya, dan dalam hal ini cinta seperti itu adalah cinta yang memang berangkat dari keyakinan sendiri. Tetapi itu termasuk cinta yang syar’i, artinya si pecinta tadi mempunyai pedoman, rule,konstitusi, aturan (yang dibuat-buat sendiri) yang tidak bisa dilanggar dan wajib dipatuhi atau lebih baik mati saja dari hidup ini. Cinta seperti ini tergolong puritan dan fundamental, ibarat kaum Islam, maka pecinta ini tergolong radikal dan ekstrimis.

Disitulah cinta sejati yang ilusi bergeser menjadi cinta buta. Dan cinta sejati tidaklah cinta biasa yang sekedar ingin mencari keenakan dan kepuasan belaka, tetapi mereka yang sepasangan kekasih yang rela hidup bersama dan sanggup menahan beban cobaan bersama-sama. Juga saling mengerti dan memahami. Bukan begitu saja menerima tanpa mempertimbangkan penerimaan balik dari lawan pasangan, tidak seakan membunuh diri sendiri demi pasangan, melainkan saling menghidupkan. Kategori cinta idealis yang sejati inilah yang patut menjadi patokan bagi muda-mudi. Bahkan orang tua mereka telah menyatakan dan memperjuangkan, itulah cinta idealis yang sejati.

Cinta Liberalis; Dari Siapa Dia Sampai Siapa Saja

Saya teringat dengan humor Kiai Zubaidi Muslih, ketika memberikan sambutan pada acara perpisahan siswa (tanpa siswi)  kelas duabelas Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah Tebuireng. Disana Kiai Zubaidi menceritakan pengalaman seseorang ketika mencari cinta (pasangan). Ketika muda ia akan menanyakan ‘Siapa dia?’, karena masih yakin dengan kemampuan, kemudaan, dan ketampangan yang menarik dan diyakini mampu memikat. Maka sasaran orang yang akan dijadikan pasangan itu tentu tampan/cantik, wajar, karena tampilan dari luar akan selalu menjadi perebutan sengit. Akan tetapi, ketika seseorang itu merasa gagal dan gagal mendapatkan dan merebut tambatan hati, maka yang kerap menjadi pertanyaan yang ia ajukan adalah ‘Siapa saja’.

Dari sini, apa yang dimaksud dengan pertanyaan ‘siapa saja’ adalah bagian dari cinta liberalis. Dikategorikan ‘liberalis’ karena cinta tersebut cenderung bebas, maka ‘siapa saja’-lah. Tidak peduli bagaimana dia, asalkan dia mau, kenapa tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun