Tidak diakui secara religius: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara religius, pasangan tersebut mungkin tidak diakui sebagai suami istri oleh agama yang mereka anut. Ini dapat menyebabkan masalah spiritual dan moral bagi pasangan yang percaya bahwa perkawinan harus diakui secara religius.
Risiko perpisahan yang lebih tinggi: Pasangan yang tidak mencatatkan perkawinan mereka mungkin memiliki risiko perpisahan yang lebih tinggi. Tanpa ikatan yang kuat dari status pernikahan yang sah secara hukum, pasangan mungkin merasa mudah untuk memutuskan hubungan mereka ketika menghadapi masalah atau ketidakcocokan.
Masalah keuangan: Pasangan yang tidak mencatatkan perkawinan mereka mungkin menghadapi masalah keuangan karena tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan dan hak-hak keuangan lainnya yang terkait dengan status pernikahan yang sah.
Masalah anak: Jika pasangan memiliki anak, anak tersebut mungkin tidak memiliki status hukum yang jelas. Ini dapat menyebabkan masalah hukum dan keuangan bagi anak dan pasangan jika terjadi masalah keluarga di kemudian hari.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pasangan yang ingin menikah untuk mencatatkan pernikahan mereka secara sosialis, religius, dan yuridis agar mendapatkan perlindungan hukum dan sosial yang diperlukan serta mencegah dampak negatif yang dapat terjadi.
Bagaimana sih pendapat para ulama dan Kompilasi Hukum Islam tentang pekawinan wanita hamil?
Dalam pandangan ulama dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia, pernikahan wanita hamil diperbolehkan, asalkan memenuhi beberapa syarat dan ketentuan tertentu. Menurut pandangan ulama, pernikahan wanita hamil tidak dilarang dalam Islam, karena kehamilan tidak mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Syafii, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Dalilnya terdapat dalam QS. An-Nur: 3. Sedangkan Abu hanifah juga membolehkan mengenai hal ini. Secara umum, haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain.
Tetapi bila wanita yang hamil akibat zina, maka ada beberapa pendapat ulama
- Pendapat Imam Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh (sesama pezina). Kalau pun yg menikahinya itu bukan laki2 yang menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
- Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
Alasan: Janin yg bukan dari hasil perkawinan yang sah dianggap tidak ada, sehingga tidak berlaku masa iddah. Masa iddah menurut keduanya hanya dalam perkawinan yang sah dengan maksud untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma.
- Pendapat Imam Malik & Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik & Imam Ahmad mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil, kecuali setelah ia melahirkan & telah habis 'iddahnya. Tapi jika tidak bertobat dari dosa zina, maka "menurut Imam Ahmad bin Hambal" dia tetap boleh menikah dengan siapapun. Pendapat Imam Malik tampak lebih berhati2 & lebih mashlahat demi memelihara agama.