Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Saputra
Dwi Wahyu Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Masyarakat Sipil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan dan Problematikannya

22 Februari 2023   22:57 Diperbarui: 29 Maret 2023   15:08 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA.

Sebelum kemerdekaan masyarakat Indonesia menggunakan kitab hukum Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang didalamnya memuat aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris sesuai ajaran Islam. Juga muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de Ingeschreven Huwelijken) bulan Juni tahun 1937 yang salah aturannya berbunyi Setiap perkawinan harus dicatatkan dalam catatan sipil.

Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Pasal 1 terdiri dari 6 ayat. Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh PPN yang diangkat oleh menteri agama, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, Pasal 2 terdiri dari ayat 3, PPN membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan kepada yang berkepentingan. Pasal 3 terdiri dari 5 ayat, sanksi bagi orang yang melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah pengawasan PPN Pasal 4, isinya perihal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran. Pasal 5 isinya peraturan untuk menjalankan UU oleh Menteri Agama Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama dari UU tersebjt, dan berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Setelahnya disahkan UU no. 32 tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya UU Republik Indonesia pada tanggal 21 November 1946 mengenai UU Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah Jawa dan Madura. Jika dilihat pasal-pasal diatas, dapat diartikan bahwa ciri paling utama dari undang-undang tersebut adalah keinginan pemerintah agar catatan perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diberlakukan dengan lebih baik lagi. walaupun menurut undang-undang tersebut pencatatan pekawinan harus menetapkan ke-validan perkawinan sebelum berlangsungnya akad nikah. Meskipun begitu sebenarnya pengaruh utama dari pencatatan itu lebih kepada soal proses hukum, bukan kandungan hukumnya.

Selanjutnya terjadi proses terbentuknya UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang merupakan gagasan pemerintah untuk mulai membahas dan merancangn setelah berkali-kali dan sejak lama mendapatkan masukan dari organisasi wanita untuk sesegera mungkin dibuat UU perkawinan yang baru, dan membutuhkan waktu 7 bulan untuk menyelesaikannya. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR itu disahkan dan menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

PERLUNYA PENCATATAN PERKAWINAN.

Pencatatan perkawinan sangat penting, karena buku nikah yang diperoleh adalah bukti tentang keabsahan dari perkawinan itu, baik secara agama ataupun hukum. Dari buku nikah tersebut, mereka para suami istri bisa membuktikan keturunan yang sah dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya. Pencatatan perkawinan adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan, pencatatan perkawinan bukan persyaratan administratif semata, namun yaa untuk memberi manfaat kepada semua pihak. Aturan tentang kewajiban mencatat perkawinan tersebut dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggarnya. Pencatatan  perkawinan diatur dan dibuat tidak hanya untuk kepentingan suami tetapi juga untuk kepentingan pihak istri dan anak, untuk memberikan perlindungan hukum, memenuhi hak-hak suami, istri, dan anak.

 Dalam agama islam ketika kita tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah maka dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan / pengesahan nikah) kepada pengadilan agama. Maka dari itu Pencatatan Perkawinan sangat diperlukan, salain itu perkawinan yang sudah tercatat akan memberikan manfaat, diantara beberapa manfaat tersebut adalah:

  • Terjaminnya kepastian hukum status suami dan istri serta anak-anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut.
  • Terjaminnya pengurusan akta kelahiran  bagi anak dengan mencantumkan nama kedua orang tua secara lengkap.
  • Terjaminnya hak waris dari suami atau istri serta anak-anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut

MAKNA FILOSOSFIS, SOSIOLOGIS, RELIGIOUS, DAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN.

Makna Filosofis Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan berdasarkan makna filosofis ini berhubungan dengan hal yang rasional, karena hal tersebut berhubungan dengan sebab akibat yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan dalam makna ini bertujuan supaya terwujudnya suatu ketertiban dalam hukum untuk kedepanya baik untuk anggota keluarga, masyarakat sekitar, dan lain sebagainya.

Makna Sosiologis Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan dalam makna sosiologis pada kenyataanya bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta perlindungan hukum bagi pasangan suami dan isteri, yang mana kepastian maupun perlindungan hukum tersebut tentu saja timbul sebab dari perkawinan itu juga. Hal tersebut berhubungan mengenai hak dan kewajiban timbal balik, baik itu untuk satu sama lain (suami isteri) maupun kepada masyarakat sekitar. Dan juga mengenai anak-anak yang dilahirkan, baik itu berupa hak-hak anak, warisan, dan lain-lain.

Makna Religious Pencatatan Perkawinan

Pada ayat al-Qur'an maupaun Hadist tidak ditemukan yang menjelaskan secara gamblang atau tegas tentang pencatatan pekawinan. Akan tetapi, terdapat salah satu ayat al-Qur'an yang didalamnya menjelaskan bahwa terdapat anjuran untuk dilakukannya pencatatan dalam segala hal yang menyangkut masalah muamalah, yaitu pada al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 282, yang mana berisikan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk melakukan pencatatan atau penulisan yang dilakukan secara benar atas segala kesepakatan, janji, atau transaksi yang telah (pernah) terjadi pada saat bermuamalah. Berdasarkan hal tersebut, meskipun dalam hukum Islam (al-Qur'an dan Hadist) mengenai pencatatan perkawinan ini tidak diatur atau diterangkan secara jelas, akan tetapi pencatatan perkawinan tersebut merupakan bukti yang valid dalam suatu perkawinan.

Makna Yuridis Pencatatan Perkawinan

Makna yuridis guna menganalisa dan menjelaskan mengenai inti dari pencatatan perkawinan pada sudut pandang hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Mengenai kedudukannya pada peraturan hukum dan juga pada perkembangan hukum Islam, hingga saat ini  makna pencatatan perkawinan masih terdapat perbedaan pendapat. Terdapat dua arus utama yang beredar atau berkembang. Pertama, berpendapat bahwasanya pencatatan perkawinan tidak ada sangkut pautnya kepada absahnya suatu perkawinan, yang menjadi intinya adalah sudah terpenuhinya rukun dan syarat, dengan kata lain pencatatan tersebut hanya merupakan kewajiban pada administrasi. Dan menurut pendapat kedua, menyebutkan bahwasanya pencatatan perkawinan ini menjadi inti dari sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Sedangkan pendapat kedua, menyatakan bahwa pencatatan perkawinan disebut sebagai penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan ini bukan hanya sebuah formalitas yang harus dilakukan guna terpenuhinya administrasi, namun lebih dari itu menurut pendapat kedua ini bahkan bersifat kewajiban yang menyangkut syariat karena dinilai sebagai penentu sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAK APABILA PERKAWINAN TIDAK DICATATKAN SECARA SOSIOLOGIS, RELEGIOUS, DAN YURIDIS.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN

Menurut Saidus Syahar pencatatan perkawinan itu sangat penting. Adapun pentingnya pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut:    

  • Agar adanya kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkan dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
  • Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
  • Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif.
  • Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.

Selain untuk mewujudkan ketertiban hukum pencatatan perkawinan juga mempunyai manfaat preventif, yakni agar tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan baik menurut ketentuan agama maupun menurut peraturan perundang-undangan, menghindari terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan melakukan pernikahan, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai istri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh pegawai pencatat.

DAMPAK APABILA PERKAWINAN TIDAK DICATATKAN SECARA SOSIOLOGIS, RELEGIOUS, DAN YURIDIS.

Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan (perkawinan yang dicatatkan) adalah untuk menjamin ketertiban hukum yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar menyangkut aspek administratif.  Hanya saja jika suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum dan bahkan dianggap tidak pernah ada. Dari aspek hukum ternyata perkawinan yang tidak dicatatkan akan berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif, yang antara lain ialah :

  • Substansi perkawinan dianggap tidak sah
  • Dapat ditalak kapan saja
  • Status hukum anak tidak jelas
  • Hak istri dan anak atas nafkah dan warisan tidak terjamin

Sedangkan jika dipandang dari aspek implikasi hukum dan dampak sosial dari perkawinan yang tidak dicatatkan pada instansi pemerintahan yang berwenang dapat diuraikan secara rinci:

  • Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah, sehingga anak-anaknya dianggap anak tidak sah.
  • Istri tidak berhak menuntut nafkah.
  • Dipandang oleh masyarakat sekitar sebagai pasangan kumpul kebo atau istri simpanan.
  • Istri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan dari suaminya, dan begitu pula sebaliknya.
  • Antara suami dan istri tidak berhak atas harta gono-gini.
  • Secara psikologis hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan tidak kuat.
  • Anak-anaknya hanya dapat mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya.
  • Anak-anaknya tidak berhak mendapatkan biaya hidup dan biaya pendidikan dari ayahnya.
  • Anak-anak yang perempuan tidak memiliki wali nasab dalam pernikahannya kelak, wali yang berhak menikahkannya kelak adalah wali hakim (kepala KUA setempat).
  • Ayah tidak mempunyai hubungan hukum dengan anak-anak perempuannya, sehingga bukan muhrim dan dapat memungkinkan menikah dengan anak biologisnya sendiri apabila istrinya telah meninggal atau berpisah.
  • Suami terbebas dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami.
  • Istri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah tangganya.
  • Istri dan anak-anaknya akan menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasian.

KESIMPULAN

Pencatatan perkawinan yaitu pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat Islam yang dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Tanpa adanya pencatatan perkawinan suatu perkawinan tidak dapat mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak memiliki bukti yang sah dan autentik Dari perkawinan yang dilangsungkan. Adapun tujuan dari pencatatan perkawinan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta Nikah apabila suatu hari terjadi perselisihan di antara suami-istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masingmasing. Dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti akurat atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Perintah pencatatan perkawinan bagi umat Islam, termasuk catatan talak dan rujuk diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Maksud pasal ini adalah supaya nikah menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi denda dan kurungan, baik laki-laki calon mempelai nya juga pihak yang menikahnya. oleh karena hal tersebut pencatatan perkawinan merupakan syarat diakuinya keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam. Dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang No 1 tahun 1974 telah dijelaskan secara tegas untuk memerintahka bahwasannya setiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan itu diakui keabsahannya. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif, yang antara lain ialah Substansi perkawinan dianggap tidak sah, dapat ditalak kapan saja dan status anak menjadi tidak jelas.

 

DISUSUN OLEH :

DWI WAHYU SAPUTRA (192121188)

SALMA PUTRI RANY (212121127)

ZUKHRUFA MINDAROYNA (212121138)

MUHAMMAD AZMI (212121140)

MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA TAHUN 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun