Mohon tunggu...
Maman Suherman
Maman Suherman Mohon Tunggu... lainnya -

jurnalis yang penulis, penulis yang jurnalis & berkeliaran pakai @maman1965

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

New Media: Setiap Orang Bisa Menjadi Jurnalis!

28 Desember 2013   14:53 Diperbarui: 14 Mei 2019   19:23 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lapangan, mereka tak lagi mengaku berasal dari media mana, tetapi dari kelompok media mana. Tak terkecuali para peliput acara infotainment. Rekrutmen terhadap calon jurnalis pun sudah berubah. 

Tidak untuk online, koran, radio atau TV semata, tapi untuk multimedia. Ada yang sudah menyiapkan perangkat pelatihan kepada wartawannya untuk memahami teknik reportase multimedia. 

Ada juga yang sama sekali tidak menyiapkanya, dan berdalih, ''Kalian terjun ke lapangan, bekerja sekaligus belajar.'' Tidak cuma pelatihannya yang tidak diberitakan, jurnalisnya pun tidak dibekali pemahaman tentang etika jurnalisme. 

Bahkan, perusahaannya pun sebenarnya bukan (semata) perusahaan media, tetapi ''media'' diselipkan sebagai salah satu anak usahanya. Contoh sederhana: ingat, tidak semua yang bekerja di televisi adalah jurnalis, dan tidak semua produk televisi adalah produk jurnalistik. Di sini tugas jurnalis 'senior'' bertambah: mengajari jurnalis pemula yang ''ditempelkan'' kepadanya saat turun lapangan. 

Yang membuat ''miris'' dan ''mengibakan'' adalah nasib para jurnalis senior. Dulu, mereka nyaman bekerja ''hanya'' untuk satu media, memegang surat perjanjian kerja untuk bekerja di hanya media ''A'',misalnya. Kini, harus ikut terseret dalam arus konvergensi, arus multimedia, bekerja untuk banyak media. Pilihannya, ''mau'' -- siap menyesuaikan diri dan belajar lagi -- atau bersiap-siap untuk ditawarkan ''pensiun dini'' atau ''golden shake hand''. 

Di kalangan mereka timbul istilah, ''Kartu kami banyak tapi ATMnya cuma satu.'' Maksudnya, bekerja untuk beragam media, tetapi gajinya tetap satu! Di sinilah tantangan terberat seorang (calon) jurnalis. Sejumlah pelajar dan mahasiswa saya mulai ragu-ragu untuk tetap melangkah menjadi jurnalis.

Tetapi, saya tetap tak putus asa menyemangatinya. Di era konvergensi dan multimedia ini ada peluang baik yang tetap terbuka lebar di dunia jurnalistik. Satu orang bisa menjadi jurnalis, sekaligus menjadi redaktur, editor dan produser medianya. Kita bisa melakukannya dari kamar tidur kita sendiri, dengan menjadi jurnalis yang berbasis web/internet, yang mampu menjawab tantangan ''era continous deadline' 60 detik/menit - 60 menit/jam - 24 jam/ hari - 7 hari/minggu - ''Get the story first''. 

Para blogger adalah contoh nyata ''do-it-yourself journalism', yang berhasil menjawab tantangan perkembangan teknologi mengenai 'jurnalisme antarperorangan', 'jurnalisme antarorang dan kelompok', menyediakan media sebagai 'arena percakapan' di mana sang blogger bisa menarik reporter warga dan editor warga ikut berkolaborasi, berbagi informasi di dalamnya. 

Bahkan, blogger yang jauh lebih visioner, kemudian mengangkat dan menjalin kerjasama ''saling menguntungkan'' dengan para reporter, atau editor yang kerap kita kenal sebagai ''jurnalis warga'' atau ''jurnalis akar rumput''. Prinsipnya sederhana, jika seseorang tahu cari membuat konten, maka ia bisa menjadi jurnalis, menyiarluaskannya melalui internet dan terciptalah ''percakapan'' dunia di kolom ''komentar'' tanpa perlu bertatap muka. 

Artinya, siapa pun bisa menjadi jurnalis. Persoalan apakah karyanya adalah karya jurnalistik, itu yang kerap dipertanyakan banyak orang. Tetapi fakta bahwa media mainstream bahkan kerap mengutip tulisan para blogger, mengutip ciapan orang di timeline twitter, mengcopy-paste isi Kompasiana, adalah sebentuk ''pengakuan'' terhadap lahir dan berkembangnya do-it-yourself journalism, terhadap eksistensi jurnalis warga dan jurnalis akar rumput. 

Kalau tidak diakui, tak akan ada produk yang beriklan di Kompasiana. Bahkan seorang Gita Wiryawan yang digadang-gadang menjadi wapres di 2014 pun beriklan di Kompasiana. Pengiklan tentu punya pertimbangan khusus mengapa makin lama makin melirik ''media baru'' ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun