Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Karena Terbiasa

18 Januari 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

hujan, adalah rutinitas untuk mataku yang entah sedih atau senang saat menatapnya. hujan kini menjadi kompas kemana aku hendak pergi atau tetap memilih bercengkrama dengan Rama, bocah kecil yang ku akrabi sekitar tujuh bulan yang lalu. pagi menjadi siang berotasi menjadi sore dan malam. matahari yang memalingkan wajah menjadikan pagi dingin menggelitik bulu romaku.

penghuni rumah bercat hijau segar itu masih tersimpan dalam mimpi-mimpi dingin yang bisa terwujud ataupun sebagai bunga tidur saja. perlahan berjalan menapaki anak tangga yang menjadi singasana sepatu kets abu-abu dan kaos kaki putih lebih dari sepuluh  hari belum berendam di larutan deterjen.tapi, baunya masih sedap.

satu-persatu menenggelamkan mata kaki yang sedikit pucat pasi.

tanpa meninggalkan suara bergerak maju berusaha dengan embun-embun yang masih enggan meleleh dipuncak tanaman padi. mencari sesuatu yang tak biasa dilakukan. "selamat pagi" tegur lirih penuh senyum seorang pelancong dari pulau Indonesia bagian timur. RAGU-RAGU membalas kata-katanya, "Iya" sambil menambah kesan senyum manis yang baru pertama kali bangun dari tidurnya.

Kuntul hitam datang berlawanan arah dengan majunya kaki. satu dan akhirnya dua tiga ekor melintas santai, pasti mereka lebih pagi membuka mata mereka.

berani dan lakukan. menjamah perumahan elit yang berada diatas timbunan tanah yang dulunya sawah. kanan kiri tamparan lanskap padi ijo royo-royo, gemercik air tegal terlihat segar. sepasang pasutri melakukan hal yang sama denganku.

puas menjamah desa Juwangen yang memang benar-benar NYESS di mata hati. pulang.

"lo, ndak ketemu Rama to ? tadi dia sama bundanya mencari kamu" tanya mas Yoga ayah Rama.

sambil pringas-pringis pamer gigi yang masih berbau asam apel. "enggak mas, kemana arahnya?" tanyaku.

"kearah sawah sebelah sana, tempat biasa kalian lakukan " jawab mas Yoga sambil sibuk menarik maju mundurkan gagang sapu lidi yang siap menyeret paksa dedaunan coklat yang basah tersiram air hujan semalam.

jarum menit belum menempati posisi semula ke angka 12. suara motor datang meminggir di depan hadapan sepatu abu-abuku. dari luar terdengar panggilan darurat dari bunda Rama, tante...tante...tante ika" suara Mbak Nana.

cepat-cepat melaju ke arah teras. sel-sel kulit wajah Rama memamerkan rona terjelek dan terburuk sejak aku bertemu dan kenal dia. murung, cemberut. ogah menatap diri yang sudah memasang muka ceria karena telah berkencan dengan angin sawah yang beku.

"udah muter-muter ke tempat biasa kalian lakukan tidak ada, sampai ke arah pasar juga ndak ketemu tante, dari sejak bangun dicariin Rama, rewel minta anterin jogging sama kamu" ujar bunda Rama.

"tadi jalurnya pindah ke arah belakang gereja karena lebih seger udaranya, ya udah ayo Rama jogging lagi sama tante. tadi mau bangunin Rama gak tega" ajakkanku pada si cilik cerewet itu.

muka sedihnya masih bergelantung seperti awan sirrus yang hendak memberikan hujan. awan mendung. semalam sebelum tidur kami sudah berjanjian akan jogging bersama. "karena Rama belum bangun, tante pergi jogging sendirian saja" kata-kata maafku.

kami pun mulai bercerita tentang lagu "dari terbit matahari" karena dihadapan kami sunrise tersenyum . sedikit-sedikit dia mulai ngomel. lawan jenis yang berpaut umur belasan tahun ini tidak mengurangi rasa keakraban kami. dan baru lima menit berjalan, sepasang binatang "bakpucung" masih asyik berhangat-hangat ria saling berpelukan di dahan rumput liar. dia pun mengamat-amati sepasang bintang itu dengan penuh rasa penasaran. "mereka sedang apa tante? "tanya dia.

"sedang tidur" jawabku sambil berlari-lari kecil. Rama mulai bersenandung lagi dan suara sumbangku segera menyatu dengan suara alami Rama. tawanya mulai mendarat di bibir lancipnya, saling berkejar-kejaran, namun tangan kanannya belum mau terlepas dari tangan kiriku. teringat semalam terdengar suara, bundanya mengajaknya jogging, tapi langsung ditolak. "Rama tu joggingnya sama tante aja, bunda gak usah ikut" ucap Rama yang suaranya memantul di tembok kamarku.

perlahan dia melepaskan genggaman tanganya saat tangan kananku mulai menyentuh embun yang telah jenuh di puncak tanaman padi. "tante ngapain si? tanyanya sambil menghampiriku berdiri.

"ada embun ni, Rama mau pegang? ajakku.

"mau" jawab nya yang tanganya langsung ku tarik dan menyentuhkan pada embun di puncak tanaman padi itu.

"dingin kan?" tanyaku lagi sambil mulai berlari-lari kecil.

"iya tante " ujarnya sambil mengikutiku dari belakang.

kuntul pagi ini tak mau menampakkan tubuhnya pada Rama. mendadak kakiku mengerem,,, set....set. "Rama, ada kupu-kupu sini?" teriakku sambil memandang kupu-kupu yang hinggap di pucuk rumput gajah. "Kupu-kupu apa tante?" tanya Rama. sambil memandangi kupu-kupu itu.

akupun gelagapan, buset harus jawab apa. aku tak mengenal itu kupu-kupu bernama apa. "Itu kupu-kupu berwarna coklat dan putih belang hitam" jawabku sambil menundukkan kepala bertujuan melihat lebih dekat lagi.

"pulang yuk tante" ajak Rama sambil meresah entah apa yang ada dibenaknya, kesedihan masih menyelimuti 90% rona wajah kecilnya.

"Hayuk" jawabku. dan ia kembali meraih tangan kiriku untuk dipegang. tiba-tiba tanganku gatel ingin menyentuh embun yang jenuh di ranting tanaman singkong.  "tante tu pegang apa si, Rama mau juga" permintaannya terucap. kemudian aku angkat dia hingga dekat dan setara tingginya dengan tanaman singkong dan menyuruhnya memegang embun itu. senyum kecil mampir beberapa detik di bibirnya.tak lelah menyentuh-nyentuh tanaman. sentuhan pagi kami daratkan di empat butir buah jarak pagar. kembali ku angkat dan menyuruhnya untuk menyentuh buah jarak pagar itu.

*****keakraban itu muncul ketika telah terbiasa bersama***

hingga setiap sore dia selalu mengajakku jogging pada pukul empat sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun