Politisi Partai Golkar Nurdin Halid Mengatakan, saat ini hanya ada empat orang yang berpeluang menjadi ketua umum partai tersebut. Keempat orang itu adalah Setya Novanto, Ade Komarudin, Idrus Marham, dan Azis Syamsuddin. Namun, jika kita melihat rekam jejak keempat orang tersebut, mereka memiliki kasus dan latar belakang yang kurang baik. Sementara, untuk menjadi seorang ketua umum partai sebesar Golkar, dibutuhkan orang yang bersih, memiliki jiwa membangun yang sesuai dengan cita-cita partai tersebut.
Meskipun memiliki sepak terjang yang mumpuni, namun nama-nama yang disebutkan Nurdin dirasa belum mampu membawa partai berlambang Pohon Beringin ini kembali berjaya. Keempat orang tersebut memiliki catatan-catatan yang kurang baik di mata publik, berikut track record empat orang calon ketua umum Partai Golkar versi Nurdin Halid.
1. Setya Novanto
Tentunya masyarakat masih ingat jelas kasus “papa minta saham” dan bagaimana rekaman yang diduga suara Setya Novanto ketika ingin membeli saham PT Freeport Indonesia dengan berusaha melobi Maruf Syamsudin. Untuk memuluskan niatannya tersebut, Setya berani mencatut nama Presiden Jokowi. Alhasil, Setya pun ‘diseret’ ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang membuat dirinya harus menyelamatkan diri dari vonis pemecatan dengan mengundurkan diri dari Ketua Umum DPR.
Pada April 2014, saat itu Setya Novanto masih menjabat sebagai Bendahara Umum Partai Golkar, namanya disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, terkait pengurusan anggaran proyek E-KTP senilai Rp 6 triliun. Apa peran Setya Novanto? Nazaruddin menyebut Setya adalah orang yang memberi perintah fee proyek E-KTP dibagi-bagi. Setya juga disebut membagi-bagikan uang dari fee proyek E-KTP ke sejumlah anggota dewan.
Nama Setya juga pernah menjadi perhatian publik pada Oktober 2014 silam, saat itu beredar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut nama Setya Novanto sebagai tersangka kasus suap PON. Dalam sprindik itu juga disebut bahwa Setya Novanto selaku anggota DPR dan dijerat dengan pasal 12 huruf e atau huruf b atau pasal 11 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sumber: Berbagai Kasus Setya Novanto
2. Ade Komarudin
pada Februari 2002, jumlah tabungan Ade Komarudin menjadi Rp 2,7 miliar dari semula hanya Rp 14 juta. Menumpuknya pundi-pundi itu didapat Ade dengan mengurusi dua pansus di DPR ketika itu, Buloggate dan Bruneigate. Uang itu juga diduga diperoleh Akom lantaran ‘jasanya’ memprakarsai hak angket parlemen untuk menjatuhkan Gus Dur sebagai presiden. Masih dari data yang sama, yakni tahun 2006 dan 2007, "permainan" Akom berlanjut, kali itu garapannya adalah meloloskan anggaran tugas pembantuan prioritas MDGs dan supply side SSK, yakni pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan. Yang dilakukan Akom dalam proyek Rp 24 miliar itu yakni dengan mengarahkan proyek alkes ke Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Guna melancarkan "permainan", Akom rajin menggelar pertemuan dengan Bupati Banggai, Sofian Mile, di Hotel Mulia Senayan lantai lima.
Dari periode 2002 hingga 2014, Akom tidak melaporkan/memanipulasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Yang dimanipulasi Akom yakni Pasal 8, 9, dan 10 huruf a, b, dan c UU Tipikor. Akom hanya melaporkan LHKPN pada 31 Oktober 2001 a.n Drs Ade Komarudin, MM. Saat itu, harta yang dilaporkan Akom senial Rp 1.395.641.000 denga rincian, rumah mewah di Jl Mendawai I no 2 RT 06/07 Kramat Pela, kebayoran, Jaksel.
Selain itu, Ade Komarudin terkenal lihai dalam merebut kekuasaan. Hal itu terlihat bagaimana dia menjadi Ketua DPR saat ini menggantikan Setya Novanto. Berdasarkan isu yang beredar, Ade mengambil kesempatan ketika Setya terkena kasus “papa minta saham”.