Pembahasan Rancangan Undang - Undangan (RUU) Penyiaran yang kabarnya akan di sidang paripurnakan di DPR RI menimbulkan polemik yang serius belakangan ini, khususnya bagi kalangan industri media.
Jika pemerintah dan DPR RI melalui sidang paripurna menyepakati, maka RUU Penyiaran secara otomatis akan menggantikan Undang Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002. Peraturan itu sekaligus akan dijadikan payung hukum utama pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.
Permasalahan yang kini jadi polemik terkait RUU itu adalah terkait pasal single mux operator dan penerapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu - satunya penyelenggara penyiaran multiplesking digital.
Konsekuensi penerapan pasal itu tentu saja akan sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi perkembangan industri penyiaran swasta di Indonesia. Karena pasal itu sangat memungkinkan terjadinya praktek monopoli dalam industri media penyiaran karena kendali penuh dikuasai oleh negara.
Di satu sisi, praktek monopoli dalam bisnis apapun sangat bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sangat jelas bahwa aturan single mux operator yang tertuang dalam RUU Penyiaran justru memberikan perlindungan terhadap praktek monopoli bisnis yang sejatinya menentang hukum. Karena melalui aturan itu, pemerintah melalui LPP RTRI tentu saja akan memiliki dominasi penuh atas secara tunggal karena aturan frekuensi siaran sepenuhnya berada dalam penguasaan lembaga tersebut.
"Penetapan RTRI sebagai penyelenggara tunggal multipleksing juga berpotensi melanggar Undang-Undang Anti Monopoli, tidak adanya jaminan terselenggaranya standar layanan penyiaran digital yang baik dan kompetitif dan tentunya jaminan kebebasan menyampaikan pendapat melalui layar kaca," ujar Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, melalui keterangan tertulis, Kamis (8/6/2017).
Pemerintah seharusnya berfikir secara visioner dalam menyikapi perkembangan dunia penyiaran di Indonesia. Apalagi saat ini, dunia pertelevisian sudah berkembang ke arah digitalisasi. Jadi, jika penguasaan frekuensi penyiaran dikuasai satu pihak saja, maka industri pertelevisian dan media di Indonesia akan mengalami perlambatan.
"RUU Penyiaran haruslah visioner harus mempertimbangkan kondisi industri televisi eksisting dan sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan teknologi serta dapat memenuhi keinginan masyarakat akan kebutuhan konten penyiaran yang baik dan berkualitas," kata dia.
Jadi bagaimana mungkin industri media di Indonesia bisa bersaing di kancah internasional jika pemerintah sendiri secara gegabah ingin menguasai operasional penyiaran secara tunggal melalui konsep single mux operator.
"Pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional," kata Ishadi.
Dampak yang paling berbahaya yang bisa dimunculkan oleh aturan ini sangat jelas sekali. Selain dapat membunuh industri media penyiaran swasta secara perlahan, akibatnya juga dapat menyebabkan angka pengangguran semakin meningkat akibat lambatnya laju perekonomian di bidang media penyiaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H