I
Membuka kembali gerbang kisah
lewat sampul yang kian melusuh.
Merintih dalamnya ada bait - bait suram.
Sesekali lembarnya terbahak berkalang sajak.
Ingin mengulang menulis puisi,
tapi huruf demi huruf masih memejam dalam diam.
Ketika makna sudi mengerucutkan diri pada inti,
gelap atau terang belum sanggup menggeluti spasi.
II
Engkau masih bercengkrama dalam benak.
Melalulalang, melayang sebagai bayang.
Terkadang duduk membaca rangkaian sajak.
Terkadang pula berjalan pinggir lautan.
Semestinya penyair hebat sepertiku mampu merangkummu.
Menata kata demi kata seolah sedang memahatmu.
Tetapi kali ini yang aku mampu cuma diam membisu.
Mungkin karena rinduku padamu terlalu menggebu.
III
Semakin terbata mengeja kelebatmu dalam kepala.
Serasa ingin mencungkil segera otak kanan maupun kiri.
Mengharap bisa mengeluarkanmu dari kebuntuan yang jadi pigura.
Beruntung, senyummu mampu menangkal rasa frustasi.
Mungkin lain kali, seusai terjaga dari impi yang mendera.
Menuliskanmu lagi sebagai asmara pewarna dunia.
Membaitkanmu kembali dalam indahnya ribuan perjalanan.
Sebagai rangkaian puisi cinta nan rupawan,
bertajuk: Melankolia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H