Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Latto Latto di Gudang Ayah

6 Januari 2023   23:05 Diperbarui: 6 Januari 2023   23:15 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Topik Pilihan Kompasiana

"Yah, beliin latto-latto," pinta Dimas.

Anak yang berusia 5 tahun itu merengek minta dibelikan mainan Latto-latto yang sedang hit di jaman sekarang.

Sin, ayahnya melarang. Lalu, berkata, "Dimas, Ayah lebih suka kamu bermain sepeda." Dimas menangis.

Baca juga: Cerpen: Pintu

Ayah Sin mencoba menenangkan.

Dimas tetap saja menangis minta dibelikan mainan latto-latto seperti teman yang lain.

"Jagoan ayah tidak boleh cengeng. Pekerjaan ayah masih belum selesai, Dimas. Ada televisi Pak Harsa yang harus diservis. Tapi, ayah janji setelah selesai. Sorenya kita bersepeda." Ayah Sin mengulurkan jari kelingkingnya, membuat janji.

Dimas setuju. Lalu, mengusap air matanya.

"Dimas, Ayah minta tolong bilang ke Mbak Mira ambilin kotak hitam di gudang."

Mbak Mira adalah asisten rumah tangga di rumah Dimas. Dimas berlarian ke arah dapur mencari Mbak Mira yang sedang membuatkan kopi untuk Ayah Sin.

"Mbak Mira disuruh ayah mengambil kotak hitam di dalam gudang," kata Dimas.

"Mbak Mira masih rebus air, Dim. Gudang Ayah tidak dikunci, Dimas bisa mengambilnya untuk Ayah. Bisa 'kan, Dimas bantuin Mbak Mira sebentar."

"Oke."

Dimas berjalan menuju ke arah gudang di halaman belakang rumahnya. Pintunya setengah terbuka. 

Anak itu masuk, lalu melihat-lihat banyak barang di gudang ayahnya. Ada layar televisi jadul berjejeran di meja, ada setrika rusak, kipas angin bekas yang sudah tak terpakai lagi. 

Ayah Sin dari dulu telaten memperbaiki alat elektronik yang sudah rusak. Sayangnya, Bunda Tere telah lebih dulu ke surga karena kecelakaan yang membuat kaki kiri Ayah Sin diamputasi. Membuat Beliau terpaksa harus berjalan menggunakan kaki palsu.

Dimas kebingungan mencari kotak hitam yang dimaksud ayahnya itu. Untuk beberapa saat lampu di gudang berkedip-kedip. Dimas awalnya takut. Tapi, ia melihat sesuatu cahaya yang keluar dari pojok dinding. 

Ia mendekat, semakin mendekat. Rasa penasarannya semakin besar. Dan, Dimas menemukan kotak hitam yang tertutup kain sutra. 

"Apa ini?"

Karena penasaran, Dimas membuka pelan-pelan kotak tersebut. Cahaya yang barusan bersinar terang, kini meredup.

"Ini Latto-latto, Ayah punya mainan Latto-latto." Dimas tidak percaya mendapatkan mainan latto-latto di dalam kotak hitam di gudang Ayahnya.

Latto-latto yang modelnya unik, jika punya teman-teman Dimas. Latto-latto terbuat dari benang dengan dua bola. Benang itu harus diseimbangkan agar bisa berbunyi tektok-tektok. Mainan Latto-latto yang ditemukan Dimas berbeda. 

Pegangannya terbuat dari bahan plastik, kaku, dan memang sudah diseimbangkan. Dengan adanya pegangan itu tak perlu ada cincin yang diselipkan ke jari. Ini hanya perlu dipegang dari ujung, kemudian digerakkan, dua bola itu otomatis saling bersentuhan.

Tek-tok-tek-tok-tek-tok-tek-tok

Dimas terus mencobanya, saking bahagia. Anak itu meloncat-loncat kegirangan.

Sesuatu terjadi pada Dimas. Sekarang, ia berada di tempat lain. Lapangan sepak bola yang luas, di sekelilingnya ditumbuhi banyak pohon yang rimbun.

"Ini di mana? Tadi 'kan, di gudang Ayah. Ayah, Mbak Mira, Dimas takut. Tolongin Dimas, Yah." Dimas menangis, dan masih memegang mainan latto-latto itu.

Karena takut, Dimas melemparkan mainan itu jauh-jauh. 

Tak ...

"Hei, siapa yang melempar sembarangan mainan ini?" 

Ada tiga anak laki-laki yang usianya sekitar sepuluh tahun hendak bermain di lapangan. Bernama Agus, Salim dan Sin.

"Sin, kamu dengar suara tangis anak kecil?" tanya Salim.

Sin dan Agus mengiyakan. Mereka mencari suara tangis anak kecil itu. Di bawah pohon mangga Dimas duduk di bangku reyot.

Agus bertanya lebih dulu, "Dek, kok nangis sendirian di sini. Kamu anak mana?"

Dimas masih tetap menangis.

"Gus, minggir. Biar aku saja yang bertanya." Sin mendorong Agus ke belakang punggungnya. "Dek nama kamu siapa? Alamat rumah adek di mana, biar kakak anterin pulang."

"Dimas." Kemudian, menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu harus ke mana. Dimas tersesat.

Salim berbisik ke telinga Sin, "Bawa ke rumah kamu aja dulu, Sin."

Sin akhirnya membawa Dimas ke rumahnya. Beruntung Ibu dan Bapaknya masih bekerja. Ibunya bekerja menjadi buruh cuci, dan ayahnya bekerja di bengkel.

Sin memperhatikan latto-latto milik Dimas. Sama persis dengan mainannya yang hilang. 

"Dek, mainan tek-tek ini punyamu?" 

"Buang Kak, buang latto-latto itu. Dimas takut," Dimas sembunyi di kolong meja. 

Sin menunduk ke bawah meja untuk melihat keadaan Dimas, sambil menyembunyikan mainannya.

"Ini mainan tek-tek, Dek. Bukan latto-latto. Kenapa takut dengan mainan ini? Lihat kakak, Dek. Kakak akan ajarin cara bermainnya."

"Jangan Kak!"

Tek-tok-tek-tok-tek-tok ....

"Jangan!" Dimas berteriak sangat keras. Mendengar suara gedebuk. Tubuh Sin terkulai di lantai. Pingsan.

Kepalanya berdarah akibat timpukan bola plastik dari mainan latto-latto. 

Dimas menangis histeris, dengan menutup kedua mata masih dalam posisi menunduk ke lantai.

"Dimas, ada apa?" 

Terdengar suara Mbak Mira memanggil namanya. Benarkah itu Mbak Mira. Dimas takut membuka matanya.

"Dim-Dimas!"

Mbak Mira menepuk pantat Dimas tiga kali. Anak itu baru percaya, bahwa itu memang benar suara Mbak Mira. Kebiasaan asisten rumah tangganya, selalu menepuk pantat anak itu jika susah diberi tahu.

Dimas membuka mata. Duduk menghadap Mbak Mira. Ia sudah berada di gudang Ayahnya. Mainan di dalam kotak hitam yang ia ambil sudah tiada. Kotak itu kosong.

"Dimas kalau takut keluar, kenapa masih saja di dalam gudang?"

Tiba-tiba sebuah foto terjatuh di lantai. Mbak Mira mengambilnya.

"Foto bapak masih kecil lucu yah, lihat nih, Dim."

"Itu bukan Ayah Sin," kata Dimas.

Dimas segera membuang foto itu, Dimas berlari ke luar pintu gudang meninggalkan asistennya sendirian di dalam gudang. Dan, Dimas masih saja terbayang-bayang dengan anak bernama Sin yang Dimas temui beberapa waktu lalu.

***

Pemalang, 6 Januari 2023

#CerpenFantasi_AS

#CerpenTopikPilihanKompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun