Ombak yang bergulung dari tengah laut akan menyandar, lalu menghantam ke tepi pantai. Bebatuan ini pernah kita singgahi bersama: Aku dengan Sahrul. Ia adalah kawanku yang senang akan kebebasan.
Sahrul bercerita kepadaku tentang keinginannya. Ia akan menjelajah laut. Petualangan hebat dengan berlayar di laut dengan kapal terbesar.
"Jangan berlebihan, Sahrul!" Aku tidak yakin Sahrul bisa melakukannya tanpa ditemani orang dewasa.
Anak seusia kami, 14 tahun untuk berlayar dengan kapal tentunya harus bersama orang dewasa. Tidak serta-merta bebas. Tapi, Sahrul merasa dirinya sanggup sendiri.
Sehingga aku bercerita, jujur kepada Kakek. Karena hanya Kakek yang kumiliki sekarang ini. Kedua orang tuaku sudah lama pergi entah kemana, setelah berlayar tidak pernah kembali lagi kemari. Bukankah, mereka adalah orang dewasapun tertelan ombak. Bagaimana dengan Sahrul?
Kakek hanya memberi pesan untukku, untuk Sahrul kawanku.
"Hidup adalah pilihan. Pilihan mu yang akan menentukan nasibmu." Ujar Kakek dengan tatapan serius.
Aku yakin ucapan Kakek adalah sebuah nasihat. Agar aku tidak menyesal di kemudian hari.
Sore itu, kami kembali bertemu di bebatuan di pinggir pantai. Sahrul duduk dengan hikmat. Dengan tangan bersedekap. Aku menunggunya bicara. Aku diam seribu bahasa. Biarkan Sahrul yang lebih dulu bercerita. Aku akan menjadi pendengar yang baik.
"Besok pagi akan ada kapal yang singgah di Lagos. Kapal itu akan melakukan perjalanan menuju Gran Canaria. Ini kesempatanku. Kamu mau ikut bersamaku, Fadil?"
"Kamu akan menumpang, dan menjadi penumpang gelap kapal itu. Kamu tidak takut ketahuan?"
"Tenang saja, orang lain tidak akan tahu tempat persembunyian kita."
"Apakah kau yakin akan berhasil? Bagaimana kalau kita ketahuan? Penumpang gelap jika ketahuan, tubuhnya langsung dibuang ke laut hidup-hidup. Kemungkinan berhasil, ibarat butiran tanah liat."
"Fadil, jika kau takut berpetualang denganku. Lebih baik aku pergi sendiri. Ini pertemuan terakhir kita. Jika kamu berubah pikiran. Aku akan menunggumu di dermaga esok hari jam tiga."
Sahrul berlalu meninggalkanku sendiri. Aku menimbang-nimbang, iya, tidaknya ikut bersama Sahrul. Sebab aku tidak tega meninggalkan Kakek sendirian di sini, pun masih ingat dengan nasihatnya.
...
Karena terlalu lama berpikir saat melangkah dari rumah menuju ke mari. Kapal yang ditumpangi Sahrul telah berlayar ke tengah laut. Aku datang terlambat. Mengiringi kepergian Sahrul yang semakin menjauh.
Kawanku, Sahrul berani duduk di daun kemudi kapal, yang bentuknya mirip sirip besar seperti pisau kapal yang digunakan untuk kemudi.
Aku berharap Sahrul berbahagia dengan pilihan hidupnya.
Sepenggal memori bersama Sahrul berlari-lari, mampir di pikiranku. Seperti saat kami masih sekolah dasar. Sahrul kesulitan mengerjakan tugas matematika. Lupa dengan rumus volume balok: panjang x lebar x tinggi.
Ada aku yang mengajarinya, cara menghitung dengan rumus tersebut. Sekarang, Sahrul pergi sendirian. Mungkinkah dia akan menemukan masalah di tengah laut? Siapa yang akan membantunya? Selain aku.
Setelah lama tak mendengar kabar tentang Sahrul. Tidak sengaja aku membaca surat kabar. Ada nama Sahrul tertera dalam berita Headline. Aku membaca surat kabar itu pelan-pelan. Mencoba mengamati wajah anak dalam berita koran.
Sahrul telah tertangkap kamera menjadi penumpang gelap. Selama 10 hari, Sahrul bertahan dengan membawa bekal seadanya, di tengah-tengah laut, yang hanya ada air asin yang bisa diminumnya. Sahrul yang malang, tubuhnya yang ringkih, lapuk diterpa angin laut setiap hari. Setelah ditemukan langsung dibawa lari ke rumah sakit.
***
Pemalang, 1 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H