"Tenang saja, orang lain tidak akan tahu tempat persembunyian kita."
"Apakah kau yakin akan berhasil? Bagaimana kalau kita ketahuan? Penumpang gelap jika ketahuan, tubuhnya langsung dibuang ke laut hidup-hidup. Kemungkinan berhasil, ibarat butiran tanah liat."
"Fadil, jika kau takut berpetualang denganku. Lebih baik aku pergi sendiri. Ini pertemuan terakhir kita. Jika kamu berubah pikiran. Aku akan menunggumu di dermaga esok hari jam tiga."
Sahrul berlalu meninggalkanku sendiri. Aku menimbang-nimbang, iya, tidaknya ikut bersama Sahrul. Sebab aku tidak tega meninggalkan Kakek sendirian di sini, pun masih ingat dengan nasihatnya.
...
Karena terlalu lama berpikir saat melangkah dari rumah menuju ke mari. Kapal yang ditumpangi Sahrul telah berlayar ke tengah laut. Aku datang terlambat. Mengiringi kepergian Sahrul yang semakin menjauh.
Kawanku, Sahrul berani duduk di daun kemudi kapal, yang bentuknya mirip sirip besar seperti pisau kapal yang digunakan untuk kemudi.
Aku berharap Sahrul berbahagia dengan pilihan hidupnya.
Sepenggal memori bersama Sahrul berlari-lari, mampir di pikiranku. Seperti saat kami masih sekolah dasar. Sahrul kesulitan mengerjakan tugas matematika. Lupa dengan rumus volume balok: panjang x lebar x tinggi.
Ada aku yang mengajarinya, cara menghitung dengan rumus tersebut. Sekarang, Sahrul pergi sendirian. Mungkinkah dia akan menemukan masalah di tengah laut? Siapa yang akan membantunya? Selain aku.
Setelah lama tak mendengar kabar tentang Sahrul. Tidak sengaja aku membaca surat kabar. Ada nama Sahrul tertera dalam berita Headline. Aku membaca surat kabar itu pelan-pelan. Mencoba mengamati wajah anak dalam berita koran.
Sahrul telah tertangkap kamera menjadi penumpang gelap. Selama 10 hari, Sahrul bertahan dengan membawa bekal seadanya, di tengah-tengah laut, yang hanya ada air asin yang bisa diminumnya. Sahrul yang malang, tubuhnya yang ringkih, lapuk diterpa angin laut setiap hari. Setelah ditemukan langsung dibawa lari ke rumah sakit.