Seseorang yang turun dari angkot, bernama Talban. Usianya sudah 40 tahun, beliau datang untuk mengunjungi sahabatnya. Jrakah menyambut dengan membawakan sepiring nasi goreng, spesial dia buat sendiri.
"Warungmu kini semakin ramai, Jra. Selamat atas keberhasilannya. Kau sudah sukses sekarang," Talban memberi pujian.
Jrakah menjawab dengan sungkan, "Ini hanya warung kecil. Belum seberapa dibandingkan sahabatku yang sukses di tanah rantau."
Talban tertawa.
Jelas Warung ini sangat luas, dengan pagar bambu disertai hiasan lampu-lampu yang membuat menarik para pelanggannya.Â
Kesuksesan yang seperti apa? Yang diartikan sahabatnya itu. Talban sudah gagal. Usaha yang dirintis susah-susah telah bangkrut.Â
Talban terdiam, Jrakah bisa merasakan kegundahan hatinya.Â
"Mumpung masih anget nasi gorengnya, dimakan dulu, Ban." Jrakah mempersilahkan tamu spesial untuk menikmati suguhan nasi goreng dan teh hangat. Baru kali pertama mereka berjumpa kembali.Â
"Rasanya masih sama, lezat seperti dulu. Kau membuat resep nasi goreng ini lebih menggoda."
Ada telur mata sapi di atasnya. Talban ingat waktu semasa remaja mereka sama-sama membuatnya. Dengan nasi putih yang digoreng dengan aneka bumbu dari bahan rempah-rempah seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, merica, penyedap rasa dan terasi serta sambal.
Bahkan nasi goreng kini telah menjamur ke mana-mana, berkat Talban sendiri yang memulai usaha hingga ke Jakarta.Â
Desa yang sudah ia tinggalkan, Jrakah lebih memilih untuk tetap tinggal. Dia telah membuktikan sebuah ucapan yang sempat dikuatirkan oleh Talban.
"Jika terus di Desa, usaha Nasi Gorengmu tidak akan pernah ada kemajuan." Katanya.
Perkataan Talban menjadi bumerang sendiri. Ia jatuh dalam sebuah persaingan. Juga hidup di Jakarta membuat mata gelap. Mempunyai anak istri yang boros, seringkali menghamburkan uangnya. Modal yang harus diputar, niat ingin membesarkan warung menjadi tempat yang lebih besar nyatanya tidak dapat diwujudkan. Talban kecewa.
Jrakah mengajaknya berkeliling, berusaha menghibur. Ada pejalan lain yang menyapa mereka.Â
"Pak Jrakah," dengan menunduk hormat.
Jrakah mengangkat tangan kanannya sebagai bentuk kepekaan sosial. Rendah diri. Meskipun nama Jrakah telah terkenal di Desa ini. Ia masih seperti Jrakah yang dulu. Ramah.Â
Pijakan kaki mereka berhenti di sebuah pemandangan Tugu yang di atasnya ada gerobak nasi goreng. Talban terkesima dengan perubahan baru di desanya.
Gerobak nasi goreng itu dibuat sedemikian rupa, mirip dengan aslinya. Hanya saja, bila gerobak yang asli berbahan kayu, tugu gerobak ini terbuat dari besi.
"Itu bahannya besi. Rodanya asli, botol juga. ini agar awet bila terkena panas atau hujan tidak keropos. Wajannya juga asli wajan," jelas Jrakah.
Kedua mata Talban tak kuasa menahan kagum.Â
"Sejak kapan dibuat Tugu ini, Jra?"Â
"Setahun yang lalu, dengan warga swadaya dibantu kepala desa. Ini untuk memberi semangat bagi pekerja yang berjualan nasi goreng. Ban, kau juga harus semangat seperti kami." Kata Jrakah sambil menepuk punggung.
Talban menarik napas berat. Menghembuskan kembali napasnya pelan-pelan. Membuang jauh masalahnya. Bersama sahabatnya, Talban akan berusaha bangkit. Bagaimana pun usaha nasi goreng yang ia rintis dari nol, adalah cara untuk menyokong hidupnya.Â
"Terimakasih, Jra. Saya akan berusaha sekali lagi."
"Semangat! Kau pasti bisa melewati ujian ini."
***
Pemalang, 23 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H