Dengan penjualnya saya mencoba mencari jalan keluar untuk menawarkan harga. Pak Broto berbisik.
"Duitku mung geri rongjuta seket, sing seket go cekelan mangan, No. Koyone ra biso ngupahi Kowe. Piye?"
"Wis tenang bae, Pade." Saya tidak mungkin meminta upah dari Pak Broto.Â
Oleh karena itu, saya langsung berterus terang apa adanya. Dari Pak Broto cuma ada dua juta, jadi saya cuma ingin minta potongan ongkos bensin saja dari pemiliknya.Â
Melihat keadaan Pak Broto yang tampak memprihatinkan, pemilik motor merasa iba. Permintaan saya ia sanggupi. Saya diberi lima puluh ribu. Bahkan pemiliknya mau mengantarkan kami dengan adiknya itu.Â
Motor butut itu bahkan mesinnya masih terdengar halus, motor Supra memang sangat gigih perjuangannya, ditambah irit bensin.
...
Dua hari Pak Broto demam, Sigit menegur saya.
"Tuku motore dadakan, bok sabar napa, No. Gere-gere kudanan bapakku mriang kuwi."
Sigit menyalahkan saya karena terlalu cepat membeli motornya. Tidak sabaran, Pak Broto kehujanan sampai jatuh sakit. Saya merasa bersalah. Tapi, Sigit juga tidak pernah peduli dengan bapaknya. Pak Broto sakit dibiarkan tidur di becak. Tidak diperhatikan, atau sesekali dipijat olehnya.
Gengsinya terlalu tinggi. Uang dua juta minta beli motor yang lebih bagus. Tapi, tidak mau memberi tambahan duit.Â