Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel LSOD Part 16: Rasa yang Tersimpan

21 Juli 2022   00:01 Diperbarui: 21 Juli 2022   00:06 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Part 16. Rasa Yang Tersimpan


'Persahabatan biasanya berakhir dengan cinta, akan tetapi cinta belum tentu berakhir dengan persahabatan adakalanya saling memberi kasih sayang tanpa jeda.'

.....

Suketi tengah terlelap dia memimpikan Richard kekasihnya. Ketika langit tengah mendung sosoknya berdiri di hamparan lautan. Tertelan ombak bahkan jemari Richard terlalu sulit untuk digenggam untuk dapat menembus batas sekat penghalang. Mereka sama-sama menghilang.

Kini hanya suara Richard yang menyapanya--terngiang tertiup angin yang berhembus pelan.

Keti yakin Richard datang.

"Cute, cute!"

"Cips kamu di mana?"

Kekasihnya sudah berada di balik jendela kamar. Waktu tengah malam sedangkan pintu rumahnya sudah terkunci rapat. Peraturan sang Ibu perempuan dilarang keluyuran. Larangan bertamu malam-malam tentunya Richard tak diizinkan masuk ke dalam.

Sekalipun dia pacarnya. Gadis itu tidak ingin membukakan pintu rumahnya. Lalu nekat mencuri kunci dari tangan sang ibu.

"Cute, aku ingin mengatakan sesuatu," raut wajahnya beringsut. Seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

"Besok aja ya. Ini kan sudah malam, Cips."

"Aku ingin mengatakannya sekarang. Maaf telah mengganggu tidurmu, Cute."

Keti dan Richard mengobrol di pembatas kaca.

"Cips mau ngomong apa?" 

"Besok pagi aku harus pergi ke luar kota. Mungkin dalam waktu lama kita tidak bisa bertemu. Aku pasti akan merindukanmu, Cute. Aku sayang kamu."

Richat beralasan sebenarnya bukan hanya itu masalahnya.

Keti berpikir secepat itukah kekasihnya pamit pergi setelah hubungan mereka sudah  menginjak setengah tahun. Gadis itu tidak rela melepas kepergiannya. Keti hanya bergeming melihat langkah tubuh kekasihnya menjauh diguyur hujan. 

Hujan yang telah menghapus jejak kakinya. Hujan yang menemani Keti menangis semalaman. Suara rintiknya membuat kerinduan pada Richard selalu datang setiap saat.

**

Setelah usai satu bulan menjalani kesendirian tanpa kabar darinya. Keti bertanya kepada teman baiknya.

"Putra, apakah dia selalu merindukanku? Apa dia pernah bercerita tentangku lewat kamu?"

"Ket, kamu berlebihan. Baru sebulan ditinggal sudah kelabakan apalagi ditinggal bertahun-tahun. Dasar lebay."

Mendengar jawaban Putra membuat Keti makin kesal. Gadis berikat satu memukul lengan tangannya. Akan tetapi dia hanya pura-pura meringis kesakitan lalu menghindar. Kelakuan Putra sekalipun menjengkelkan kadang selalu menghibur gadis itu.

Kadang cinta membuat sesak sebab rindu tak dapat dituangkan dengan pertemuan. Apalagi seseorang yang kita cintai jauh keberadaannya. Meskipun berulangkali Keti sudah bertanya kabarnya? Tak ada balasan dari pujaan hati. Kalaupun memberi kabar hanya sebatas pesan singkat tanpa suara. Rindunya semakin hari kian menggila.

Teng.. Teng... 

Bel sekolah sudah berdentang, tanda waktu belajar telah usai dan waktunya untuk pulang.

Keti meminta Deva untuk mengantarnya.

"Jangan cemberut terus Sek! Wajahmu makin jelek."

Deva senang menghibur sahabatnya. Pria remaja itu sebenarnya sudah lama menyimpan rasa untuk Keti. Hanya saja dia tak pernah berkata jujur. Gengsi diungkapkan pun takut merusak hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin.

Pernah sekali dia menyelipkan puisi ke dalam buku Diary-nya. Puisi tanpa nama. Di situ sudah jelas untuk sahabat. Tentang perasaan sayang untuknya.

Keti menghentikan laju sepeda Deva.

"Berhenti!"

"Kenapa, Sek?"

Keti menunjukkan dua orang yang sedang menikmati nasi goreng di pinggir jalan. Ternyata Richard dengan Eca yang duduk di sana. Deva tahu Keti sangat kecewa.

Dia tidak ingin Keti menangisi lelaki yang salah. Yang mempermainkan perasaan sahabatnya. Deva membawanya pergi secepat mungkin.

Andai saja Keti mampu melihat cintanya, Deva ingin menghapus kesedihannya. Memberikan kebahagiaan setiap harinya. Andai saja itu bisa dia lakukan. Sekarang pun Deva akan melakukannya.

**

Cinta pertama Keti mengisahkan beribu penyesalan. Sakit ya benar saja. Eca dari dulu selalu merebut kebahagiaan gadis itu. Dalam sekejab saja. Mila menghindari Keti dan sekarang Cips berpaling menujunya.

Keti membuka buku diary kemudian menemukan lembaran kertas putih di sana.

Kiranya seperti ini isi dalam kertas itu,

'Persahabatan biasanya berakhir dengan cinta, akan tetapi cinta belum tentu berakhir dengan persahabatan adakalanya saling memberi kasih sayang tanpa jeda.'

To: Sahabat

Tidak ada nama si penulis. Keti hanya bisa menebak-nebak. Apa mungkin dari Deva? tetapi selama ini Deva tidak pernah mengatakan apapun. Deva juga tidak bisa menuliskan puisi. Dia sibuk dengan dunianya. Basket.

Jika benar dari Deva tentu pria itu akan mengatakan yang sesungguhnya. Atau dia tidak ingin persahabatan mereka bubar  karena memiliki perasaan cinta.

Kring... kring...

Telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal.

"Assalamualaikum. Halo ini siapa?"

"Ket, ini aku Rasit."

Rasit, kawan kenalan yang dahulu ikut lomba baca puisi menghubungi Keti.

"Em.., kamu. Eh... maksudku Mas Rasit apa kabar?" Ujar Keti gugup.

"Baik. Ket, aku lagi main di rumah tetanggamu loh. Rumah Feri."

"Hah, serius!"

"Kalau tidak  percaya coba saja kamu lewat di depan rumahnya."

Keti langsung mematikan teleponnya. Beranjak keluar, berjalan menuju rumah Feri. Sekitar lima belas menit Keti telah sampai di pintu gerbang rumahnya.

Sebuah Motor Honda berwarna hitam bercampur merah darah terparkir di sana.

 [Mas Rasit, lihat gerbang] ; Keti

Keti lekas mengirimkan pesan singkat untuk Rasit. Laki-laki itu mengajak Keti masuk. Duduk di teras depan bersama pemilik rumah.

Menurut Keti Feri dan Rasit kawan yang asyik diajak ngobrol.

Keti juga baru tahu ternyata Feri tetangganya satu sekolah dengan Rasit.

Rasit mengenakan baju berwarna hitam dan celana jins berwarna biru. Rasit memberikan segelas kopi miliknya. Keti mengira Feri tentu lupa menambah satu gelas kopi lagi.

"Ini untukku." 

"Ya buat kamu, Ket. Sudah minum saja. daripada aku suruh kamu masuk untuk menuangkan kopi sendiri," timpal Feri dengan nada bercanda.

Rasit tersenyum ketika segelas kopi miliknya sudah Keti teguk separuh. Keti merasa canggung lalu memilih pamit pulang. Feri terus saja menyela pembicaraan Keti dan Rasit. Itu membuat Keti merasa bersalah, keberadaannya mengganggu mereka namun saat ia pamit Rasit juga ikut pamit. 

"Pulang bersama yah," pintanya.

"Rumahku kan dekat, Mas."

"Tak masalah."

"Dengan motor?"

"Heem, masa dituntun."

"Tapi_"

Belum selesai bicara Rasit memaksa Keti untuk naik ke body motor. Rasit mengantarkan Keti sampai di depan rumahnya karena waktu sudah larut malam ia enggan mampir sebentar.

Hanya hari itu keduanya bisa bertemu setelahnya tak tahu kapan kesempatan akan datang seperti ini lagi. Keti mencibir kebodohannya.

Perihal cinta pertama, patah hati pada Richard sedikit terlupakan. Keti kembali mengingat lagi, siapa pemilik surat itu? Sebuah puisi tanpa nama tentang cinta dan persahabatan yang sulit untuk diartikan.

***

Pemalang, 21 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun