"Baru selesai temu pegawai dengan kepala cabang kejaksaan yang baru."
Mak Yah mengangguk meski kurang paham. Hatinya ikut senang karena tidak lama kemudian dagangannya diserbu pegawai kejaksaan.Â
"Nanti yang bayar Pak Manto, yang tadi beli lontong sayur. Dia bosnya," ujar salah satu pegawai setelah menerima seporsi lontong sayur dan dua peyek kacang.
"Iya, gak apa-apa. Tadi beliau sudah bilang begitu."
"Wah, kebetulan, aku sedang lapar," ujar pegawai lain. "Bikin yang enak, Bu .."
Mak Yah kembali mengangguk dengan wajah sumringah. Namun ketika Pak Manto hendak membayar, beliau kebingungan karena tidak mencatat siapa saja yang mengambil jajanan dan pesan lontong sayur. Apalagi ada pegawai yang mengambil gorengan dan langsung pergi karena mengira sudah diborong semua.Â
"Ya sudah, anggap saja diborong setengah," ujar Pak Manto.Â
Mak Yah mengangguk meski nalurinya mengatakan mestinya bayarannya lebih dari itu karena dagangannya tersisa sedikit. Namun mulutnya seperti terkunci. Tidak baik membantah omongan orang pintar. Tidak mungkin menang, pikir Mak Yah.
Senja berganti rupa. Lampu penerangan jalan mulai menyala. Bunyi klakson dan deru kendaraan yang bergegas nyaris mengalahkan alunan adzan Magrib. Ibu Suketi menitip dagangan pada penjual nasi goreng yang sedang mendirikan tenda. Hatinya baru benar-benar merasa tentram ketika berserah diri di mushola kecil di belakang ruko.
***Â
Ciiit ..!