Malam membisu seribu bahasa hadirnya memberi sejuta kebahagiaan. Saat buah cinta kami tengah terlelap aku lamat-lamat memperhatikan dari lubang jaring pembaringan.
"Aku tak menyangka bisa melahirkannya," ucapku lirih.
Mas Galih terdiam menatapku dengan wajah berbinar. Di dalam sebuah Klinik Aini proses persalinan berjalan lancar selama dua malam aku pun diperbolehkan pulang.
Kami sudah mempersiapkan nama untuknya. Bayi laki-laki bermata sipit, kulit putih dengan dagu membelah di tengah bernama Gala Wangsa. Nama yang menurut kami baik berharap ia akan menjadi seorang Pemimpin.
Malam berikutnya menjadi awal pertama aku menjadi seorang ibu. Rupanya tak mudah, dipaksa untuk bangun mendengar rengek tangis harus mengganti popok bayi atau menyusui.
Tubuh ini begitu lelah, mata sembab menahan tangis ketika puting susu terasa nyeri. Tidak mudah memang. Hampir saja diri ini menyerah memaksa Mas Galih untuk mengganti susu sambung.
Susu formula telah disiapkan oleh Mas Galih meskipun masih memberi buah hatiku ASI hanya setiap siang sedangkan malam harinya menyediakan susu dalam botol.
"Asih, lihat anakmu kulitnya memerah sepertinya tidak cocok susu formula."
Tanggapan Ibu mertua selesai memandikan Gala. Aku rasa bukan karena alergi susu tapi sebuah bedak, pikirku tertahan dalam diam. Mas Galih mengiyakan ucapan Sang Ibu. Aku tak mungkin membantah suamiku. Demi Gala aku bertahan tinggal bersama mertua.