"Nggak, Mas. Kata Fatma sekeluarga sedang sakit. Tapi, belum sempat adik bertanya mengenai sakit yang diderita. Teleponnya lekas dimatikan."
Untuk menggantikan rencana, suami mengajak menginap di rumah mertua. Pagi-pagi bisa menghirup udara di tengah sawah. Memandang arus sungai yang bening. Dengan kendaraan bermotor kami bisa mengelilingi perkampungan.
Setidaknya tidak akan membosankan jika seharian hanya di rumah. Dengan kegiatan yang itu-itu saja seperti makan, tidur dan menonton televisi. Hanya saja masih tetap sama keadaannya di Kota maupun di Desa sama-sama wajib mengenakan masker.
Tiba-tiba saja wajah Bakri, keponakanku membayang di pikiran.
"Mas, bagaimana kalau Bakri kena virus?"
"Husstt, jangan ngomong sembarangan!"
"Lah iya, Fatma bilang yang menularkan penyakit dia duluan."Â
Aku cuma berharap Bakri lekas sembuh. Jika benar penyakitnya karena virus kenapa nggak langsung dibawa ke rumah sakit? Hmm... Pikiran ini berkecamuk.
Selang seminggu ada kabar tak terduga dari keluarga Fatma. Katanya Bakri telah menghembuskan nafas terakhir. Ia dikatakan positif Corona dan memiliki riwayat penyakit paru-paru. Sayangnya terlambat dibawa ke rumah sakit akibat persediaan selang oksigen tiada. Nyawanya tidak bisa tertolong. Malam ini juga mayat Bakri segera dikuburkan dengan pemakaman tertutup. Keluarganya tak bisa ikut.
Isak tangis Fatma di panggilan telepon semakin kencang. Aku ikut berbelasungkawa. Tak menyangka akan secepat ini Bakri meninggal di usia muda. Sembari menenangkan, ia berkata lagi.
Malam ini Fatma bersama kedua adiknya berencana menginap. Tapi, aku belum memutuskan. Dan, bertanya pada suamiku terlebih dahulu.