Bisa dibilang Keluarga Kak Dwi sudah lebih mapan. Ia sudah memiliki rumah sendiri, bekerja di pabrik rokok sedangkan suaminya bekerja menjadi kuli bangunan. Keduanya sama-sama memiliki penghasilan lebih.
"Rezeki orang mana ada yang tahu," ujar Suami.
Di saat aku mengeluh meributkan soal uang yang tidak cukup, "Aku ingin bekerja." Tidak ada tanggapan sama sekali.
Tugas istri cukup di rumah, itu yang diinginkannya. Soal rezeki tak perlu ditakutkan, Allah yang akan menjamin. Bukankah makhluk yang hidup akan diberikan rizki. Seperti pohon yang tumbuh mendapatkan air hujan dan burung yang mendapatkan ikan.
Sejenak kupungut nasihat itu, sayangnya hanya sebentar. Jika sudah marah mendekati kewarasan rasa kuatir akan membludak.Â
Sampai mana kesabaranku akan diuji.Â
Siang itu, ibu pulang dengan membawa sejuta harapan. "Apa yang kurang," Ibu membeli sekarung beras, sabun mandi, sabun cuci dan sampo dalam satu kardus besar.Â
Lagi-lagi aku merepotkan ibu. Perempuan paruh baya membetulkan kerudungnya. Sama sekali tidak pernah mengharapkan imbalan dari memberi. Demi anak apapun akan ia lakukan.
Aku mengusap perutku yang buncit, bergerak-gerak senang. Sambil memberi tahu, "Nenek memang baik."
Ibu bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Menjadi sosok yang pekerja keras, mandiri namun nyatanya aku belum bisa.
Beruntung memiliki suami yang bertanggung jawab.Â