Mohon tunggu...
Muhammad Akrom
Muhammad Akrom Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

enjoy, free, and netral or independent.\r\n\r\nhttp://mochacom.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Moratorium Remisi Koruptor Kebijakan Politik Pencitraan

8 Desember 2011   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:41 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditegaskan juga, jika moratorium dimaknai penghapusan maka sama halnya dengan peniadaan undang-undang sehingga termasuk penyelewengan. Jelas mantan Staf Khusus Presiden itu dalam jumpa pers di Kemenkum  dan HAM, Kamis 3 November 2011,

"Kami melihat istilah ini disalahgunakan. Kami mengganti dengan pengetatan karena kalau moratorium berarti dihapuskan, undang-undangnya juga harus dihapuskan," jelas Denny.

Dikatakan pula, maksud pengetatan dalam hal ini adalah memaksimalkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dengan memberikan persyaratan tersendiri untuk remisi dan pembebasan yang ditujukan khusus kepada whistle blower atau justice colaborator. Imbuh Denny, kebijakan ini bukanlah suatu kebijakan baru.
"Sudah ada pengetatan, ada syarat, tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana organized crime, termasuk korupsi," tegas Denny.

Moratorium Remisi, Kebijakan Blunder
Meskipun secara peristilahan terkait dengan moratorium telah direvisi oleh Denny, dengan mengganti menggunakan wacana pengetatan, namun bukan berarti telah usai polemic seputar moratorium remisi untuk koruptor. Revisi tersebut masih memerlukan penjelasan yang gamblang, khususnya dalam implementasinya. Ini seperti yang dikemukakan oleh Ilyas, pengamat hukum yang berdomisili di Jogjakarta selepas menghadiri kegiatan budayawan Wahyu NH. Aly dalam dialog terbuka bersama Lawang Ngajeng.

"Moratorium apabila dimaknai penghapusan, tentunya memerlukan payung hukum. Harus ada undang-undang yang mengaturnya secara jelas. Apabila yang dimaksud moratorium itu pengetatan, itu sah-sah saja, tapi blunder dalam pelaksanaannya," terang Ilyas.

Menurut Ilyas, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, secara tegas tercantum apabila remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Ilyas juga menambahkan, ditinjau dari aturannya selama ini pada dasarnya terkait dengan remisi memiliki beberapa jenis seperti remisi umum, remisi khusus, dan rernisi tambahan. Selain itu juga ada remisi dasawarsa. Bila melihat Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.01- HN.02.01 Tahun 2006, diatur juga tentang remisi umum susulan. Belum lagi dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.Ol.HN.02.01 Tabun 2001 yang memberikan aturan akan remisi khusus tertunda dan remisi khusus bersyarat.

Kembali Ilyas menjelaskan, mengambil dasar Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dipahami bahwasanya remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Pengertian berkelakuan baik di sini, adalah menaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang tercatat di buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi.
Melalui pernyataannya tersebut, Ilyas kembali mengatakan, apabila kebijakan pengetatan hanya ada di pusat sedangkan di lapas tidak ada mekanisme yang mengaturnya, menurutnya itu sama saja tidak ada artinya. Namun apabila pihak lapas dibuatkan aturan-aturan khusus dalam penilaian berkelakuan baik bagi koruptor, maka bukan lagi pengetatan melainkan sudah musti dibuatkan undang-undangnya agar tidak menjadi problem.

"Apabila tidak dibuatkan undang-undangnya, hanya sekedar kebijakan pengetatan remisi, itu tidak bisa berjalan lah. Yang menilai baik dan buruk narapidana itu 'kan lapas," papar Ilyas.

Lanjut Ilyas mengungkapkan, belum lagi melihat untuk remisi tambahan yang sampai hari ini masih tumpang tindih dan tidak ada keselarasan dalam beberapa penafsiran. Masing-masing aturan tidak memiliki definisi yang tegas, baik itu Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, ataupun Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan Bagi Narapidana dan Anak Pidana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun