Oleh: Tim Penulis *
Kabar gembira berhembus dari istana senayan, terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua KPK memberikan angin sejuk bagi sejarah korupsi Indonesia yang kian buram. Steril dari nafsu kekuasaan dan independensi yang sangat kuat, adalah kekuatan tersendiri yang dimiliki ketua KPK hari ini. Harapan itu makin terbuka, melihat indeks korupsi di Indonesia yang membaik, saat ini negeri kita berada pada tingkatan ke-100 dari 73 negara terkorup (Suara Karya, 2/12/2011).
[caption id="" align="alignright" width="320" caption="arbraham samad"]
Bangsa Indonesia memang belum sepenuhnnya bergembira, sebelum Indonesia benar-benar bersih, tetap saja negara kita terbilang korup. Merubah persepsi menjadi lebih baik, mengembalikan kepercayaan rakyat, merupakan tugas paling rumit ketua KPK baru. Kini, Abraham sudah ditunggu oleh pekerjaan rumah (PR) yang begitu menumpuk. Segudang PR ini, memerlukan strategi, paradigma, teori dan landasan dua sisi; yuridis dan filosofis untuk melingkari jalannya.
Saku yuridis, jelas termaktub pada perundang-undangan, norma dan asas hukum baik konteks negara secara umum ataupun peratuaran KPK. Teks konsensus yuridis mengandung ragam interpretasi oleh penggunanya. Landasan ini akan kering bila hanya disandarkan pada satu sisi saja, yakni teks. Secara tidak langsung, membutuhkan pondasi lain yang bisa berdiri tegak, membangun negara yang baik dan memberantas korupsi hingga akar yang paling dalam.
Filosofis itu, terlukis pada pemikiran Wahyu NH. Aly. Beliau adalah cendikiawan muda berkarakter nasionalis dan islamis. Menyorot kondisi negara dan pemahaman ijtihadi mengenai keislaman, cukup memberi lampu pijar untuk kemelut negara yang kian memburam. Kritik membangun yang bersih dari pinangan siapapun dan tidak berpangku pada sisi manapun, menjadi corak pemikiran Wahyu, memberikan sumbangsih untuk terus membangun negara yang lebih baik, termasuk dalam aspek korupsi di Indonesia.
Teorinya yang dikenal dengan pemikiran moderat, yakni "Nasionalisme-Normatif" adalah wujud dari cinta negara. Teori ini, menggabungkan makna substansi teks normatif untuk dihadapkan pada konteks kenegaraan. Menggunakan nilai teks sebagai pembangun/pondasi utama menancapkan langkah pemerintah. Filosofi nilai teks inilah yang dilupakan oleh pelaku roda negara, termasuk pemimpin KPK sebelumnya. Tonggak yuridis, lebih dipercaya menjadi penerang jalannya.
Wahyu NH. Aly
Teori ini bertumpu pada nilai teks normatif; qur'ani, hadits dan perundang-undangan. Akan tetapi bukan menggunakan pemahaman hitam-putih dari teks, melainkan nilai yang terkandung. Bila diseret pada realitas ataupun fenomena korupsi, sederhananya bahwa dalam alquran dan hadits jelas dilarang mengambil yang bukan haknya, apalagi hak rakyat yang begitu banyak. Pada keadaan tertentu, bahkan rakyat wajib memerangi koruptor dan halal darahnya. Maka nilai dari aturan agama ini, diterapkannya hukuman mati untuk koruptor.
Bukan mau menampakkan garang atau radikalnya sebuah teks, akan tetapi demi kemaslahatan bangsa, penghianat dan penjahat negara yang pada konteks tertentu memang perlu dihukum mati. Sedangkan dari sisi bagaimana menentukan rumusan langkah kinerja KPK kedepan, teori ini wajib dimiliki oleh pemimpin KPK. Bahkan menjadi syarat mutlak untuk dikuasai. Terkait dengan kebijakan dan tujuan KPK untuk perbaikan negara menuju bangsa yang sejahtera.
Pemimpin harus memiliki penguasaan teks normatif dari ketiga komponen diatas. Karena disitulah keadilan dan kebenaran (true perseption) akan menemukan andilnya. Segala kebijakan, pencarian keadilan bahkan pemutusan klaim membutuhkan dasar yang kuat, biar tidak oleng bila dihempas iming-iming kekuasaan. Pekerjaan yang menggunung harus dilandasi oleh dasar yang kuat pula.
Koruptor sangat pintar berpura-pura dan bermain api politik. Hanya pemimpin KPK yang pintar dan energik yang bisa mengatasi. Pemimpin yang mempunyai kemandirian keilmuan, landasan yang kuat dan jelas. Semua landasan filosofis ini termaktub dalam teori yang digagas oleh Wahyu NH. Aly.
Abraham Samad perlu bertukar pikiran dengan Wahyu dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Seperti yang dilakukan Ahmadinejad kepada Ali Akbar Javanfekr, hingga membuat negara Iran benar-benar berkembang dan terus sejahtera mengalahkan negara-negara adikuasa. Landasan nasionalisme normatif yang digagas Wahyu selayaknya dimiliki atau setidaknya diambil oleh Abraham Samad.
* Tim Penulis:
1. Muhammad Akrom (Sekretaris yayasan Kodama Yogyakarta dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa pasca sarjana Linguistik di Universitas Indonesia),
2. Bashar Dikuraeshin (Ketua Lembaga Kajian Sinergia Yogyakarta [LKSY] sekaligus Pimred Majalah Sinergi), dan
3. Nurdin Lubis (Pimpinan Dar at-Tarjamah [Rumah Terjemah] Arab-Indonesia / Indonesia-Arab Yogyakarta).
Artikel terkait :
- Bedah Sastrawan Monumental (William Shakespeare dan Wahyu NH. Aly)
- Wahyu NH. Al_Aly; Vis A Vis Agama dan Negara
- Budayawan Muda Yang "Menantang" (Potret Pemikiran Budayawan Muda Wahyu NH. Al_Aly)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H