Mohon tunggu...
Muhammad Akrom
Muhammad Akrom Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

enjoy, free, and netral or independent.\r\n\r\nhttp://mochacom.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahyu NH. Aly: Jawaban Penentuan 1 Syawal Musti Berbeda

2 September 2011   23:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini merupakan hasil dialogku, call via Hp (Jakarta-Brebes) dengan budayawan muda, Wahyu NH. Aly (Wahyu Nur Hidayat) pada malam lebaran 1432 H (Rabu, 31 Agustus 2011). Sebenarnya dialognya lumayan panjang, karena juga membicarakan hal yang lain. Namun yang berhubungan dengan penentuan 1 Syawal kemarin sepertinya hanya ini. Dialog ini sebelumnya tidak bermaksud untuk kuposting karena tidak terpikiran, akan tetapi setelah membaca dan mengikuti Kompasiana rupanya polemik seputar perbedaan hari lebaran masih hangat sehingga membuatku teringat dialog ini. Berikut hasil dialogku dengan Mas Wahyu, semoga bermanfaat.

Bagaimana pandangan Mas Wahyu mengenai perbedaan penentuan 1 Syawal?

Ya, mustinya memang begitu. Karena yang namanya waktu, itu 'kan berkaitan dengan lokasi. Jadi, perbedaan sudah suatu hal yang pasti. Kecuali, bumi itu rata dan posisi bulan dan matahari selalu tetap.

Mengapa terjadi perbedaan penentuan 1 Syawal di Indonesia?

Hahaha....

Mengenai perbedaan penentuan 1 syawal di Indonesia, kalau ditinjau secara lokasi tentunya tidak begitu berpengaruh karena perbedaannya tak sampai dengan hitungan hari. Perbedaan yang ada di Indonesia, dalam hal ini dua ormas yang paling berpengaruh, NU dan Muhammadiyah, itu lebih kepada sumber hukum dan mekanismenya. NU mengambil dasar hukum dari hadits Nabi yang bunyinya, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)"

Muhammadiyah juga menggunakan dalil naqli. Hanya saja sumber primer yang dipakainya berbeda dengan NU. Dalil yang digunakan Muhammadiyah, di antaranya mengambil dari Qs. ar-Rahman: 5: "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan"

Dengan dasar liru'yatihi (melihat hilal), NU menggunakan cara rukyat dan apabila tidak bisa dirukyat maka dengan istikmal (digenapkan 30 hari). Sehingga, NU memosisikan hisab hanya sebagai alat bantu untuk menentukan kapan saat rukyatnya. Sedangkan Muhammadiyah, menggunakan mekanisme hisab hakiki yang standarisasinya wujudul hilal yang cara mengukurnya apabila sudah ijtimak atau terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari tenggelam, serta tatkala tergelincirnya matahari posisi bulan di atas ufuk.

Keduanya, Muhammadiyah ataupun NU, menggunakan dasar primer yang tidak sama karena adanya perbedaan cara pandang, perbedaan interpretasi atas dalil-dalil yang mereka pakai. Ketidaksamaan inilah yang kemudian berpengaruh atas penentuan bulan puasa, yang tentunya berkaitan juga dengan 1 syawal. Karena ada beda dasar hukum primer dan interpretasi juga, sehingga melahirkan ketidaksepadanan dalam mekanismenya, langkah-langkah dalam menentukan awal Ramadhan ataupun 1 syawal.

Kalau begitu, lebih baik mana antara rukyat dan hisab?

Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kalau tujuannya persatuan, seperti membuat kalender, menurut saya cukup dengan hisab. Tapi kalau tujuannya keakuratan waktu, dengan rukyat menurut saya lebih terukur namun tetap dibantu dengan hisab agar tidak ketar-ketir saat menentukan kapan melakukan rukyat.

1 Syawal di Arab Saudi ditentukan hari selasa. Bukankah Arab Saudi juga menggunakan rukyat, tapi mengapa bisa berbeda dengan Indonesia?

Ah, lucu itu Arab. Sederhananya begini, [kemarin] posisi hilal di Arab 'kan lebih rendah dari Indonesia, kalau di Indonesia saja belum, lantas logikanya dari mana, kok Arab sudah mengatakan memutuskan. ....

(Maaf kalimat selanjutnya dihapus karena hanya berisi sedikit keterangan dan pertanyaan penegas. Lebih jelasnya ada di kolom komentar. M. Akrom)

Perbedaan di Indonesia ini memang sudah seharusnya?

Seperti di awal tadi itu. Ya, tinggal pilih yang mana, kalau Indonesia ingin sebagai Negara yang islami ya mustinya biarkan saja berbeda. Tapi kalau Indonesia menginginkan menjadi Negara yang arogan meskipun mengaku-ngaku islami, ya dipaksakan saja sama.

Bukankah adanya perbedaan itu bisa memecah belah umat Islam sendiri?

Memecah belah bagaimana. Justru di sinilah letak keislaman yang sebenarnya terkait dengan ini. Karena ini termasuk wilayah ijtihad, jadi perbedaan dalam hal ini adalah suatu yang niscaya. Tergolong fastabiqul khairot, berlomba-lomba dalam kebaikan yang khusus ini berkaitan dengan intelektual. Jelas rahmat, perbedaan dalam hal ini.

Pada dasarnya juga, ijtihad terkait dengan kontekstualisasi hukum fikih, meskipun suatu saat itu diketahui salah, selama masih dinilainya benar dengan memiliki dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan itu bukan saja dibolehkan tapi juga mendapatkan pahala. Seperti hadits Rasulullah Saw, riwayat Bukhori-Muslim, Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala.

Sedangkan para pengikut (muqallid) dari mujtahid, semuanya mendapatkan porsi pahala yang sama dalam melaksanakan ibadah selama menggunakan dasar keimanan. Bagi yang mengikuti (taklid) ini, masing-masing hanya boleh menjalankan yang dipercayainya tanpa boleh mengusik yang berbeda. Mereka yang berbeda cukup hanya didiamkan saja. Tapi, kalau mau menanyakan itu sih sah-sah saja. Dalam Qs. An-Nahl: 43 juga dijelaskan apabila muqallid (orang yang mengikuti hasil mujtahid atau orang yang berijtihad) itu cukuplah menjalankannya saja atau menanyakannya kepada yang tahu, "Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki i1mu, jika kalian tidak mengetahui."

Karena juga, yang namanya dalam berijtihad, hasil ijtihad itu hanya berlaku bagi yang menerimanya, bukan untuk yang lain. Hasil ijtihad misalnya haram, maka haramnya itu hanya berlaku bagi yang mempercayainya, bagi yang tidak percaya dengan itu selama memiliki dasar yang juga kuat atau taklid dengan mujtahid lain, ya tidak haram.

Mudahnya begini, Muhammadiah menentukan 1 Syawal di hari selasa, maka hanya yang mengikuti atau mempercayai hasil Muhammadiah yang diharamkan berpuasa di hari itu, sedangkan kalangan NU tidak dalam kategori tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila keputusan NU 1 Syawal di hari Rabu, maka keputusan tersebut hanya berlaku untuk kalangan atau orang yang mengikuti atau mempercayai hasil dari NU, yang demikian artinya kalangan NU tidak boleh mengharamkan orang Muhammadiah yang melaksanakan puasa sunah di hari Rabu atau mengharamkan hari lebarannya Muhammadiah.

Dengan pernyataan lain, masalah khilafiah ini cukup diserahkan kepada Allah sebagai dzat yang paling mengetahui atas semuanya, atas apa yang tidak diketahui oleh manusia, termasuk mengetahui dan memahami kekurangan ataupun kelemahan manusia.

Sederhana 'kan, kalau masyarakat dijelaskan begini? Ya, kalau syahwat politis yang dipakai, ya susah....

Demikian lah hasil dialognya dan sudah meminta izin untuk memostingnya. Hadits dan ayat Alquran yang menggunakan bahasa Arab tidak ditampilkan dalam postingan ini dengan hanya menampilkan terjemahannya saja. Semoga ke depan lebih bisa menghargai perbedaan. Salam Telkomsel Ramadhanku

> http://www.kompasiana.com/asma99

>http://ngajeng.wordpress.com/

> http://zonamerahislam.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun