1 Syawal di Arab Saudi ditentukan hari selasa. Bukankah Arab Saudi juga menggunakan rukyat, tapi mengapa bisa berbeda dengan Indonesia?
Ah, lucu itu Arab. Sederhananya begini, [kemarin] posisi hilal di Arab 'kan lebih rendah dari Indonesia, kalau di Indonesia saja belum, lantas logikanya dari mana, kok Arab sudah mengatakan memutuskan. ....
(Maaf kalimat selanjutnya dihapus karena hanya berisi sedikit keterangan dan pertanyaan penegas. Lebih jelasnya ada di kolom komentar. M. Akrom)
Perbedaan di Indonesia ini memang sudah seharusnya?
Seperti di awal tadi itu. Ya, tinggal pilih yang mana, kalau Indonesia ingin sebagai Negara yang islami ya mustinya biarkan saja berbeda. Tapi kalau Indonesia menginginkan menjadi Negara yang arogan meskipun mengaku-ngaku islami, ya dipaksakan saja sama.
Bukankah adanya perbedaan itu bisa memecah belah umat Islam sendiri?
Memecah belah bagaimana. Justru di sinilah letak keislaman yang sebenarnya terkait dengan ini. Karena ini termasuk wilayah ijtihad, jadi perbedaan dalam hal ini adalah suatu yang niscaya. Tergolong fastabiqul khairot, berlomba-lomba dalam kebaikan yang khusus ini berkaitan dengan intelektual. Jelas rahmat, perbedaan dalam hal ini.
Pada dasarnya juga, ijtihad terkait dengan kontekstualisasi hukum fikih, meskipun suatu saat itu diketahui salah, selama masih dinilainya benar dengan memiliki dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan itu bukan saja dibolehkan tapi juga mendapatkan pahala. Seperti hadits Rasulullah Saw, riwayat Bukhori-Muslim, Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala.
Sedangkan para pengikut (muqallid) dari mujtahid, semuanya mendapatkan porsi pahala yang sama dalam melaksanakan ibadah selama menggunakan dasar keimanan. Bagi yang mengikuti (taklid) ini, masing-masing hanya boleh menjalankan yang dipercayainya tanpa boleh mengusik yang berbeda. Mereka yang berbeda cukup hanya didiamkan saja. Tapi, kalau mau menanyakan itu sih sah-sah saja. Dalam Qs. An-Nahl: 43 juga dijelaskan apabila muqallid (orang yang mengikuti hasil mujtahid atau orang yang berijtihad) itu cukuplah menjalankannya saja atau menanyakannya kepada yang tahu, "Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki i1mu, jika kalian tidak mengetahui."
Karena juga, yang namanya dalam berijtihad, hasil ijtihad itu hanya berlaku bagi yang menerimanya, bukan untuk yang lain. Hasil ijtihad misalnya haram, maka haramnya itu hanya berlaku bagi yang mempercayainya, bagi yang tidak percaya dengan itu selama memiliki dasar yang juga kuat atau taklid dengan mujtahid lain, ya tidak haram.
Mudahnya begini, Muhammadiah menentukan 1 Syawal di hari selasa, maka hanya yang mengikuti atau mempercayai hasil Muhammadiah yang diharamkan berpuasa di hari itu, sedangkan kalangan NU tidak dalam kategori tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila keputusan NU 1 Syawal di hari Rabu, maka keputusan tersebut hanya berlaku untuk kalangan atau orang yang mengikuti atau mempercayai hasil dari NU, yang demikian artinya kalangan NU tidak boleh mengharamkan orang Muhammadiah yang melaksanakan puasa sunah di hari Rabu atau mengharamkan hari lebarannya Muhammadiah.