Mohon tunggu...
Akmal Satrio Fasha Wihardi
Akmal Satrio Fasha Wihardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama: Akmal satrio Fasha Wihardi, NIM: 41322010001. Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak, M. Si. Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dalam Upaya Pencegahan Korupsi

11 November 2023   15:39 Diperbarui: 11 November 2023   17:55 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram?

Dokpri : Akmal satrio
Dokpri : Akmal satrio

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram adalah gaya kepemimpinan yang demokratis, humanis, dan rasional. Gaya kepemimpinan ini didasarkan pada pengalaman dan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh filsafat dan spiritual Jawa yang lahir pada tahun 1892 sebagai putra ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas Kudiarmadji dan kemudian berganti nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia1. Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.

Pada awalnya Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram tetapi kemudian ia menanggalkan gelar kepangeranannya itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram1. Hal ini bermula ketika BPH Suryomentaram pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta dan dalam perjalanan dengan kereta api melihat petani yang sedang bekerja di sawah1. Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani1. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis. Lalu BPH Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.

Pada saat itu utusan kraton mencoba mencarinya dan menemukan keberadannya di Kroya ketika sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa1. Utusan kraton itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke istana1. Hidup BPH Suryomentaram di istana menjadi gelisah, tidak puas dan memuncak ketika kakeknya Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan kepada kakeknya1. Tidak lama kemudian isteri BPH Suryomentaram sendiri dan meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa. Ketika Sultan Hamengkubuwono VII telah diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengizinkan BPH Suryomentaram meninggalkan kraton Yogyakarta. BPH Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah Salatiga, Jawa Tengah1. Di sana ia menjadi guru aliran kebatinan yaitu Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia1. Penganutnya cukup banyak dan tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.

Ki Ageng Suryomentaram merasa tidak puas dengan kehidupan istana yang mewah dan jauh dari kenyataan rakyat. Ia pernah melihat para petani yang bekerja keras di sawah dan merasakan simpati yang mendalam. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana dan mengembara di berbagai tempat sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik, petani, dan kuli. Ia sempat kembali ke istana atas permintaan ayahnya, tetapi kemudian ia kembali pergi dan menetap di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.

Di sana, ia menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang berarti ilmu bahagia. Ia mengajarkan ajaran moral yang sederhana namun mendalam, seperti Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Ia juga menulis banyak buku dan karangan tentang alam kejiwaan dan filsafat Jawa. Ia dijuluki sebagai Plato dari Jawa karena gagasannya yang jelas dan logis.

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya kepemimpinan yang melibatkan partisipasi dan kontribusi dari anggota kelompok dalam pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan komunikasi yang terbuka, diskusi yang konstruktif, dan kerjasama yang harmonis. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan motivasi, kreativitas, dan komitmen dari anggota kelompok.

Gaya kepemimpinan humanis adalah gaya kepemimpinan yang memperhatikan dan menghormati kemanusiaan dari anggota kelompok. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan kebutuhan, kepentingan, dan potensi dari anggota kelompok. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan kepuasan, loyalitas, dan produktivitas dari anggota kelompok.

Gaya kepemimpinan rasional adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan akal dan logika dalam pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan fakta, data, dan analisis yang objektif dan valid. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan kualitas, efisiensi, dan efektivitas dari hasil kerja kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun