***
Setelah proses kepindahan itu usai, nama Toni Kroos yang Agung makin bergema di jagat sepak bola seantero dunia. Ia dikenal sebagai "Sniper asal Jerman" berkat kepiawaiannya dalam memberikan umpan kepada rekan-rekannya.
Jika saja Jerman Nazi masih ada, mungkin Toni Kroos sudah direkrut menjadi Heckenschütze atau sosok penembak jitu yang posisinya tak diketahui saat berperang. Mungkin sekilas itu terdengar berlebihan, tapi statistik mengatakan bahwa ia telah berhasil memberikan lebih dari 20.000 umpan selama berseragam El Real sejak musim 2014/15 silam. Lebih spesialnya lagi, di antara segudang passing tersebut, umpannya yang gagal tidak mencapai 1.500 kali, atau dengan kata lain tingkat keberhasilannya mencapai 94%.
Julukan "sniper dari Jerman" itu sama sekali tidak berlebihan. Tak cuma soal passing, sering kali ketika barisan depan nampak buntu, Kroos tiba-tiba datang menyeruak ke tepi kotak penalti lalu menyarangkan bola tepat ke tepi gawang lawan. Sering kali ia menendang bola tanpa power yang besar, tapi entah bagaimana bolanya bisa masuk. Barangkali ketika masa-masa buntu itu tiba, Toni Kroos sudah lama mengeker pergerakan kiper lawan dengan AWP di kedua kakinya yang beralas sepatu Adidas Adipure 11Pro—yang tak pernah diganti itu.
Meskipun begitu, dengan segala kekaguman yang ada, saya berani menyebut Toni Kroos sebagai pemain yang masih tergolong underrated. Nyatanya, sihir yang Kroos tunjukkan selama ini tak cukup banyak dibicarakan, berbeda dengan rekan setimnya, Luka Modric.
Tak heran, sebagai midfielder, dia mungkin bukan orang paling stylish seperti Luka. Dia bukan yang paling cepat, bukan pula yang paling lihai menggocek si kulit bundar. Kalau boleh jujur, malah biasa-biasa saja. Dia juga bukan orang paling ngotot dan energik kalau disuruh lari-larian atau membantu pertahanan. Ditambah lagi, catatan Kroos juga tidak begitu mentereng kalau bicara soal gol dan assist.
Tapi, itulah fungsi seorang sniper dalam peperangan. Tak perlu banyak gerak, tak perlu pula banyak tingkah. Tapi sekalinya peluru dihembuskan, barisan pertahanan lawan bisa kocar-kacir.
Toni Kroos dan passing seakan dilahirkan bersama ke dunia oleh Tuhan. Mereka sama sekali tidak bisa dipisahkan. Setiap kali Kroos mengambil ancang-ancang untuk melakukan killer pass, bola bisa mengalir begitu anggun seakan sudah tau mana arah dan tujuan yang dikehendaki. Pemandangan itu betul-betul selayaknya seorang pelayan yang membawa belasan gelas besar di kedai-kedai bir di Jerman. Barangkali saat sesi latihan, Kroos juga mengganti nama-nama passing-nya selaras dengan nama bir agar tak diketahui musuh. Dari yang mulanya umpan pendek, umpan jauh, dan through ball menjadi Pilsner, Wheat beer, dan Lager.
Yah, barangkali itu semua terdengar seperti bualan iseng semata. Lagi pula, si Toni ini memang cukup terkenal sebagai sosok yang tengil. Contohnya saja, dia memutuskan untuk pensiun di usia 34 tahun ketika seantero dunia baru benar-benar mulai mengakui kehebatannya.