Mohon tunggu...
Muhammad Fachri Akmal
Muhammad Fachri Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka ngomongin bola meski gak ngerti-ngerti amat.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Peluru Jitu Sniper Jerman

22 Mei 2024   15:36 Diperbarui: 22 Mei 2024   17:21 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Toni Kroos. (Sumber: Pinterest https://in.pinterest.com/los_blancos_CR7/)

Jerman memang dikenal sebagai negeri yang punya ikatan erat dengan militer. Tak ayal, pada masa perang dunia dulu, Jerman menjadi salah satu kekuatan yang paling ditakuti dengan tentara Nazi-nya.

Saya yakin, siapapun yang membaca tulisan ini pasti tahu atau minimal pernah mendengar nama Adolf Hitler dan bagaimana ideologinya yang kejam.

Namun, saat ini saya tidak sedang melantur soal tentara militer Jerman di zaman Perang Dunia. Saya sedang berbicara mengenai mahakarya sepak bola Jerman di era modern bernama Toni Kroos yang baru-baru ini mengumumkan keinginannya untuk gantung sepatu pasca gelaran Euro 2024 nanti.

Pengumuman Toni Kroos pensiun. (Sumber: Twitter.com/The Athletic)
Pengumuman Toni Kroos pensiun. (Sumber: Twitter.com/The Athletic)
***

Masih teringat jelas dalam ingatan saya. Saat itu, di bulan Ramadhan tahun 2014, di kala sahur tiba. Saya menyalakan televisi untuk menyaksikan kesebelasan Jerman—yang kebetulan jadi timnas favorit saya hingga saat ini—menghadapi sang tuan rumah, Brazil pada partai semi final Piala Dunia.


Selanjutnya, kita tentu tahu betul apa yang terjadi. Der Panzer tanpa belas kasih mempermalukan tim Samba di hadapan rakyatnya sendiri dengan skor 7-1.


Dalam partai tersebut, fokus saya tertuju pada sesosok pemain muda: Toni Kroos. Sebelumnya, tak ada yang memori berarti darinya. Seingat saya, dia cuma sesekali terlihat di skuad Bayern dalam partai Champions League yang saya saksikan lewat layar kaca. Saat itu rambutnya masih berponi dan mengenakan nomor punggung 18 dalam kaus bermotif garis horizontal warna merah-hitam. Sekilas, tak ada yang spesial dari tampilan fisiknya kala itu. Kalau boleh dibilang, dia lebih mirip sosok bocah kutu buku yang culun dan cuma jadi anak bawang di pergaulan.


Tapi, memang benar apa kata petuah. Don't judge a book by it's cover.


Toni Kroos yang masih membela Bayern Munchen malah jadi sosok paling bersinar di atas lapangan, tak kalah dari nama-nama beken lainnya seperti Miroslav Klose, Bastian Schweinsteiger, dan juga Mesut Ozil. Torehan 2 gol dan 1 assist pada malam itu membuat predikat Man of The Match disematkan kepadanya.


Singkat cerita, trofi Piala Dunia pun berhasil mereka bawa pulang ke Jerman setelah 24 tahun lamanya pasca mereka mengandaskan perlawanan Argentina yang diperkuat sang alien, siapa lagi kalau bukan Lionel Messi.


Pada momen itu, saya berteriak seperti orang kesetanan. Saya masih ingat jelas, momen itu terjadi pada hari terakhir libur Ramadhan, yang mana, saya yang masih duduk di bangku SMP harus berangkat sekolah begitu fajar menyambut. Namun, siapa pula yang menyangka, saya yang masih bocah dan baru mengikuti industri sepak bola sejak musim 2008/2009, bisa turut berbagi suka cita kala menyaksikan orang-orang asing—yang bahkan tidak ada ikatan batin sama sekali—mengangkat trofi emas berbentuk bola dunia.

Toni Kroos dengan medali juara Piala Dunia 2014. (Sumber: x.com/ESPN FC)
Toni Kroos dengan medali juara Piala Dunia 2014. (Sumber: x.com/ESPN FC)
***


Pasca gelaran agung tersebut, saya menasbihkan diri saya sendiri sebagai penggemar Toni Kroos.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tak lama setelah itu, banyak rumor berseliweran tentang kepergian Toni dari tanah "Weltstadt mit Herz" yang saat itu sudah berpindahtangan ke Pep Guardiola.

Manchester United yang juga ditinggal Sir Alex Ferguson santer dikaitkan dengan gelandang asal Jerman tersebut. Sebagai pengabdi Setan Merah, masih tergambar jelas, bagaimana bahagianya saya saat itu.

Pelatih Baru United, David Moyes, konon katanya sudah sedekat ujung kuku untuk merekrutnya.

Sayang, takdir berkata lain. Sosok yang begitu saya idolakan itu lebih memilih untuk merantau ke kota Madrid yang jauh berada di Negeri Matador. Namun, kita semua tahu seperti apa ending-nya. The rest is history.


Nasib kami pun akhirnya berbanding terbalik 180°. Toni menjadi penguasa Eropa dan dunia, sedangkan saya dan barisan pendukung Setan Merah lainnya, masih terjerembab dalam lumbung kegagalan dan putus yang entah akan bertahan sempai kapan.


Dalam lamunan, saya sering kali merenungi tragedi tersebut. Kalau saja Toni Kroos berlabuh ke Old Trafford, mungkin nasib kami tidak akan seburuk ini. Namun di sisi lain, saya juga teringat: kalau saja dia datang, barangkali seluruh dunia tidak akan pernah menyaksikan kecemerlangan Toni Kroos yang kita kenal sekarang.


Yahh, begitulah takdir dan hidup. Apa yang terdengar seperti bencana bagi kita, justru bisa jadi maslahat bagi orang lain.

Sudah cukup kisah 'cinta tak sampai' ini. Saya sebagai penggemar United dan Toni Kroos, mengibaratkannya sebagai karakter Tom Hansen dan Summer dalam film "500 Days of Summer". Meskipun pernah sedekat ujung kuku dengan berbagai ekspektasi, pada akhirnya Tom hanya bisa mendewasakan diri dan melanjutkan hidup tanpa kehadiran Summer di sisinya.

500-days-of-summer-664da8cb34777c08be72deb3.jpg
500-days-of-summer-664da8cb34777c08be72deb3.jpg
Karakter film 500 Days of Summer yang diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt dan Zoey Deeschanel. (Sumber: IMDB.com)

***


Setelah proses kepindahan itu usai, nama Toni Kroos yang Agung makin bergema di jagat sepak bola seantero dunia. Ia dikenal sebagai "Sniper asal Jerman" berkat kepiawaiannya dalam memberikan umpan kepada rekan-rekannya.

Jika saja Jerman Nazi masih ada, mungkin Toni Kroos sudah direkrut menjadi Heckenschütze atau sosok penembak jitu yang posisinya tak diketahui saat berperang. Mungkin sekilas itu terdengar berlebihan, tapi statistik mengatakan bahwa ia telah berhasil memberikan lebih dari 20.000 umpan selama berseragam El Real sejak musim 2014/15 silam. Lebih spesialnya lagi, di antara segudang passing tersebut, umpannya yang gagal tidak mencapai 1.500 kali, atau dengan kata lain tingkat keberhasilannya mencapai 94%.

Statistik passing Toni Kroos selama di Real Madrid. (Sumber: OptaAnalyst)
Statistik passing Toni Kroos selama di Real Madrid. (Sumber: OptaAnalyst)

Julukan "sniper dari Jerman" itu sama sekali tidak berlebihan. Tak cuma soal passing, sering kali ketika barisan depan nampak buntu, Kroos tiba-tiba datang menyeruak ke tepi kotak penalti lalu menyarangkan bola tepat ke tepi gawang lawan. Sering kali ia menendang bola tanpa power yang besar, tapi entah bagaimana bolanya bisa masuk. Barangkali ketika masa-masa buntu itu tiba, Toni Kroos sudah lama mengeker pergerakan kiper lawan dengan AWP di kedua kakinya yang beralas sepatu Adidas Adipure 11Pro—yang tak pernah diganti itu.

Meskipun begitu, dengan segala kekaguman yang ada, saya berani menyebut Toni Kroos sebagai pemain yang masih tergolong underrated. Nyatanya, sihir yang Kroos tunjukkan selama ini tak cukup banyak dibicarakan, berbeda dengan rekan setimnya, Luka Modric.

Tak heran, sebagai midfielder, dia mungkin bukan orang paling stylish seperti Luka. Dia bukan yang paling cepat, bukan pula yang paling lihai menggocek si kulit bundar. Kalau boleh jujur, malah biasa-biasa saja. Dia juga bukan orang paling ngotot dan energik kalau disuruh lari-larian atau membantu pertahanan. Ditambah lagi, catatan Kroos juga tidak begitu mentereng kalau bicara soal gol dan assist.

Tapi, itulah fungsi seorang sniper dalam peperangan. Tak perlu banyak gerak, tak perlu pula banyak tingkah. Tapi sekalinya peluru dihembuskan, barisan pertahanan lawan bisa kocar-kacir.

Toni Kroos dan passing seakan dilahirkan bersama ke dunia oleh Tuhan. Mereka sama sekali tidak bisa dipisahkan. Setiap kali Kroos mengambil ancang-ancang untuk melakukan killer pass, bola bisa mengalir begitu anggun seakan sudah tau mana arah dan tujuan yang dikehendaki. Pemandangan itu betul-betul selayaknya seorang pelayan yang membawa belasan gelas besar di kedai-kedai bir di Jerman. Barangkali saat sesi latihan, Kroos juga mengganti nama-nama passing-nya selaras dengan nama bir agar tak diketahui musuh. Dari yang mulanya umpan pendek, umpan jauh, dan through ball menjadi Pilsner, Wheat beer, dan Lager.

Yah, barangkali itu semua terdengar seperti bualan iseng semata. Lagi pula, si Toni ini memang cukup terkenal sebagai sosok yang tengil. Contohnya saja, dia memutuskan untuk pensiun di usia 34 tahun ketika seantero dunia baru benar-benar mulai mengakui kehebatannya.

Dasar.

Tapi biarpun begitu, di akhir masa baktinya sebagai seorang sniper nanti, saya harap dia tidak menenggak segelas bir khas tanah kelahirannya, melainkan sebotol champagne sebagai tanda perayaan atas segala yang telah ia torehkan selama ini. 

Enjoy retirement (after Euro), Sniper, Maestro, and Legend himself!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun