Mohon tunggu...
Akmal Maulana
Akmal Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAI Pangeran Dharma Kusuma Indramayu

Gemar Mengaji

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kuasa Media; Propaganda dalam Bayang-Bayang Demokrasi Menurut Noam Chomsky

4 Desember 2024   08:09 Diperbarui: 4 Desember 2024   08:22 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik Kuasa Media  (Sumber: Pinterest/Kredit Foto) 

 

Demokrasi dan kebebasan pers (media) dalam gelanggang percaturan politik negara yang menganut sistem demokrasi adalah salah satu pasak penting dalam pondasi demokrasi. Masyarakat yang ikut terlibat dalam urusan kolektif dan kebebasan pers adalah hal yang sudah semestinya lumrah di negara demokrasi. Namun, benarkah demokrasi membebaskan masyarakatnya dalam memerhati, mengolah dan mengedarkan informasi yang ada di lingkungannya? Benarkah segala keputusan dalam demokrasi dinisbahkan atas kehendak umum? Ada analisis menarik dari seorang analis linguistik junto politik Noam Chomsky. Noam Chomsky yang  meragukan implementasi dari konsepsi demokrasi yang demikian.

KENYATAAN DEMOKRASI

Menurut Noam Chomsky, demokrasi dalam implementasinya yaitu masyarakat harus senantiasa dihalang-halangi dalam mengatur untuk mengatur urusan kolektifnya dan mengetahui segenap informasi. Menurutnya, ini adalah implementasi demokrasi yang diterapkan dalam sosial masyarakat. Begitu Pula pers, yang menurutnya tidaklah suatu informasi yang harus ditelan bulat-bulat, kolom artikel yang ada dalam media atau halaman koran bersampulkan kisah heroisme Amerika tak lain merupakan kerja-kerja wartawan yang tersuguh di meja redaktur. Media prestisius yang mendukung Amerika membombardir negara lain atas nama demokrasi dan kebebasan tak lain adalah alat pencetak pikiran publik.  Lalu apa yang kemudian menjadi paham atau istilah yang tepat dalam menjelaskan fenomena dimana publik ditundukan dalam keputusan elite yang sebenarnya kontra akan kepentingan mereka?

KILAS BALIK KESUKSESAN PROPAGANDA; AMERIKA DAN KEDIGDAYAAN MONOPOLI

Ya, Propaganda. Noam Chomsky mengurai bagaimana negara memonopoli informasi publik yang di contoh kasusnya ialah tentang kesuksesan spektakuler dari propaganda Amerika, bermula pada keterpilihan Presiden Amerika, Woodrow Wilson yang memenangkan Pemilu tahun 1916 dengan slogan kampanye “perdamaian tanpa penaklukan” yang dalam konteks zamannya sedang berkecamuk perang dunia I. Yang kemudian setelah kemenangannya pada pemilu Amerika, Woodrow Wilson membentuk komisi propaganda resmi pemerintah yang dinamai “Creel Committee” menjadi alat pembentuk opini dan alat penjangkit histeria massa yang merubah masyarakat anti perang menjadi massa yang memiliki informasi dan mesin pembangkit histeria massa yang mendukung perang. Lalu bagaimana Creel Committee menyulap massa yang benci terhadap perang dan bahkan W. W menggunakan istilah “perdamaian tanpa penaklukan” dalam slogan kampanye pemilunya dan menyulapnya dengan massa yang haus akan darah dan penaklukan?

Sebelum kepada mekanisme apa yang membuat opini rakyat bermanuver yang semula benci cucuran darah hingga berbalik langkah membawa senapan menuju medan pertempuran. Alangkah baiknya kita tanggalkan sejenak guna merekonstruksi ulang terkait bagaimana elit memandang demokrasi yang ideal, demokrasi yang ideal menurut elit kekuasaan adalah ketika masyarakat mendukung kebijakan yang merugikan mereka dengan kata andalan mereka demi “kepentingan nasional” atau “kepentingan bersama”. Maka oleh  Walter Lippman seorang wartawan prestisius menjabarkan lebih lanjut bagaimana keadaan demokrasi ideal itu dihuni secara fungsi demokrasi menjadi dua sekumpulan golongan dalam kelas masyarakat. Yang pertama adalah kelas “para ahli”, kelas ini dihuni oleh para penguasa dan intelektual yang mengamini segenap “kepentingan bersama” atau biasa disebut dalam bahasa masa kini sebagai “penjilat”. Mereka intelektual yang bersedia terpampang wajah dalam membela “kepentingan nasional” dengan argumen akal-akalan.

Yang kedua adalah kelas yang paling banyak anggotanya, Lippman menamakan kelompok ini sebagai “kawanan pandir” dan hanya akan menjadi “pemirsa demokrasi”. Mereka hanya sesekali diizinkan karena dalam suasana demokrasi, mereka hanya boleh terlibat dan menggunakan haknya untuk memilih “kelas ahli” dan menisbatkan kepada mereka bahwa mereka akan memimpin kawanan pandir ini. Itulah yang menjadi barrier antara demokrasi dengan otoritarianisme, adanya pemilu. Setelah pemilu, kawanan pandir ini harus disibukkan dengan urusan mereka masing-masing dan fokus pada agenda nasional berikutnya. Namun apakah konsekuensi bilamana kawanan pandir ini terlibat dalam urusan para ahli?

PARADE PEMBERONTAKAN DAN SIASAT “PARA AHLI”

Adalah sesuatu yang menakutkan bagi elit dan menjadi keadaan tidak ideal bagi demokrasi bilamana kawanan pandir mengamuk dan membuat brigade pemberontakan menghentikan aktivitas kapital para pemodal, mengosongkan pabrik-pabrik produksi atau memprotes kebijakan para ahli yang tidak merepresentasikan kepentingan mereka. Maka, untuk menghindari hal itu publik harus dikawal ketat segala informasi yang tersampaikan pada mereka dan penggunaan komunikasi yang sesuai dengan nilai dan tidak terjadi penyimpangan pada setiap kebijakan yang dikeluarkan para ahli. contoh: Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menggunakan diksi “harmonisasi” untuk mengecoh kawanan pandir dan maksud sebenarnya adalah untuk menaikkan pajak PPN. Lalu bukan hanya dengan penggunaan gaya komunikasi yang tidak menyimpang, para ahli juga mencengkram empu masyarakat atau biasa dikenal dalam bahasa masa kini sebagai “influencer”. Ini akan memudahkan para ahli dalam memanipulasi dan memonopoli pikiran kawanan pandir, mereka tak perlu seharian di media publik mengencerkan kalimat ajimat untuk meluhurkan dan menerima tindakan mereka, empu masyarakat inilah yang akan berperan banyak dalam merekayasa pikiran publik. Empunya masyarakat inilah yang kemudian harus senantiasa dilayani dengan segenap kebutuhannya dan dibukakan akses ekonomi oleh para ahli agar senantiasa dalam cengkraman elit kekuasaan.

Empunya masyarakat juga akan banyak terpampang dalam media massa, kisah keberhasilan mereka, nasionalisme mereka menggambarkan leluhur bangsa ini, ritus ibadah mereka adalah contoh kedekatan dengan sang pencipta, tontonlah televisi, dengarkan slogan-slogan orang kaya itu yang menceritakan kekayaannya sejak kecil karena mempraktekan nilai-nilai luhur bangsa kita. Dengan begitu, kawanan pandir tersihir dan menciptakan batas, barangsiapa yang mempunyai pandangan terhadap sesuatu yang kontra atau menyatakan sentimen dan berseberangan dengan “empu masyarakat” atau “influencer” adalah mereka yang melampaui batas dan tidak sama sekali mencerminkan budaya leluhur kita. Begitulah keefektifan Propaganda dalam negara demokrasi sekaligus membedakannya dengan totalitarianisme yang dengan langsung menghadapkan moncong senjata kepada mereka yang berbeda.

HITAM ATAU PUTIH; TAPAL BATAS DALAM PROPAGANDA

Dalam segmen terakhir ini, Chomsky berpendapat bahwa merekayasa opini dan mempresentasikannya lewat pers adalah salah satu cara ampuh dalam menjalankan propaganda. Setelah kawanan pandir ini terpaku pada media massa dan menerapkan slogan si empu masyarakat, sebagian mereka akan mendapati dirinya sebagai sampel survei dengan pertanyaan abu-abu, disamping pengawalan ketat atas apa yang kawanan pandir ini peroleh dan biarkan dari media sosial. Kawanan pandir ini pasti tidaklah mengetahui berapa jumlah korban pasca G30S misalnya atau berapa juta hektar pembabatan hutan masyarakat adat untuk keperluan “para ahli” membina para penyokongnya dan empu masyarakat, padahal hutan yang ditinggali masyarakat adat adalah tanah leluhurnya yang sudah ada sebelum negaranya ada. Dan sudah barang tentu, kawanan pandir akan selalu jauh dengan isu-isu yang demikian.

Melanjut topik terkait survei yang abu-abu, kawanan pandir akan diperhadap-hadapkan dengan pertanyaan yang sangat pelik bagi mereka, disatu sisi empu masyarakat terus menggembor-gemborkan nasionalisme, swasembada pangan dan kemajuan ekonomi, namun disisi lain kebijakan yang diteken oleh “para ahli” akan membunuh secara perlahan, budaya, psikologi dan arena produksi kultural masyarakat pedalaman atas diterbitkannya UU CIPTA KERJA misalnya, yang akan memutihkan/memberi izin lahan korporasi yang sudah membabat hutan namun belum mempunyai izin usaha di wilayah hutan. Namun setelah itu media dan pers digencarkan atas survei kepuasan terhadap pemerintah yang angkanya sangat fantastis dan dominan. Kawanan pandir yang saat dirinya ditanya dan berusaha tak sependapat akan merasa dirinya sebagai “orang gila” yang menolak kemajuan negara setelah penerbitan hasil survei di media massa.

Atau dalam sejarah Amerika, ketika publik disuguhkan setiap harinya tentang kekejaman bangsa Hun (Jerman), kebangkitan red scare dan begitu mengerikannya senjata pemusnah masal. Dan ketika, publik amerika di suguhkan penelitian dan survei, salah satu penelitian oleh University of Massachusetts yang mengungkap dua dari tiga orang Amerika menganggap bahwa kita harus terlibat aktif melalui kekuatan militer terhadap kependudukan ilegal dan pelanggaran HAM. Jika kita konsisten terhadap pendapat ini, maka Amerika juga harus membombardir Indonesia atas invasi Indonesia atas Timor-Timur atas sekitar 200.000 jiwa yang meninggal dibawah dukungan Amerika atas jalan diplomasi dan militer yang dilakukan pemerintah Indonesia. Atau membombardir El Salvador, Guatemala, Tel Aviv, Cape Town, Turki, Washington dan negara dan negara-negara lain yang melakukan aneksasi, kependudukan ilegal dan agresi militer junto pelanggaran hak asasi kemanusian.

Atau kita bisa belajar dari propaganda yang dinisbatkan Amerika terhadap Irak, ketika sebagian oposisi Irak bersepakat untuk melakukan perundingan atas invasi Saddam Husein terhadap Kuwait namun media Amerika tak satupun meliput proposal mereka. Pertengahan Januari, sebelum kepul asap senjata membombardir Irak, Washington Post mensurvei dengan hasil dua per tiga orang Amerika bahkan dunia juga oposisi Irak sepakat dengan alternatif perundingan damai. Namun para responden merasa dirinya sendiri memikirkan dan menjadi “orang gila” karena dalam halaman surat kabar dan layar televisi empu masyarakat bersama “mayoritas” adalah yang mendukung perang dan tak berpikir membuat bungker dan berlindung atas senjata pemusnah masal.

Dan pada akhirnya, jikalau kita masih belum terbiasa dan belum mengetahui terhadap apa yang menjadi pengetahuan yang terlihat underground dan minim pemberitaan, bukan berarti peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, namun karena kita sedari awal sudah dihalang-halangi untuk mengetahui informasi dan diarahkan menjadi sekumpulan pandir yang selalu terbawa euforia masa. Dan bahwa memang terbukti, dalam sistem demokrasi yang membedakannya dengan otoritarian adalah rakyat yang diberi kebebasan “memilih” dan dengan simbol-simbol demokrasi dalam alam kemerdekaan, tidak seperti otoritarian yang melakukannya dengan keterpaksaan, ya semua ini terjadi di bawah payung demokrasi dan kebebasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun