HITAM ATAU PUTIH; TAPAL BATAS DALAM PROPAGANDA
Dalam segmen terakhir ini, Chomsky berpendapat bahwa merekayasa opini dan mempresentasikannya lewat pers adalah salah satu cara ampuh dalam menjalankan propaganda. Setelah kawanan pandir ini terpaku pada media massa dan menerapkan slogan si empu masyarakat, sebagian mereka akan mendapati dirinya sebagai sampel survei dengan pertanyaan abu-abu, disamping pengawalan ketat atas apa yang kawanan pandir ini peroleh dan biarkan dari media sosial. Kawanan pandir ini pasti tidaklah mengetahui berapa jumlah korban pasca G30S misalnya atau berapa juta hektar pembabatan hutan masyarakat adat untuk keperluan “para ahli” membina para penyokongnya dan empu masyarakat, padahal hutan yang ditinggali masyarakat adat adalah tanah leluhurnya yang sudah ada sebelum negaranya ada. Dan sudah barang tentu, kawanan pandir akan selalu jauh dengan isu-isu yang demikian.
Melanjut topik terkait survei yang abu-abu, kawanan pandir akan diperhadap-hadapkan dengan pertanyaan yang sangat pelik bagi mereka, disatu sisi empu masyarakat terus menggembor-gemborkan nasionalisme, swasembada pangan dan kemajuan ekonomi, namun disisi lain kebijakan yang diteken oleh “para ahli” akan membunuh secara perlahan, budaya, psikologi dan arena produksi kultural masyarakat pedalaman atas diterbitkannya UU CIPTA KERJA misalnya, yang akan memutihkan/memberi izin lahan korporasi yang sudah membabat hutan namun belum mempunyai izin usaha di wilayah hutan. Namun setelah itu media dan pers digencarkan atas survei kepuasan terhadap pemerintah yang angkanya sangat fantastis dan dominan. Kawanan pandir yang saat dirinya ditanya dan berusaha tak sependapat akan merasa dirinya sebagai “orang gila” yang menolak kemajuan negara setelah penerbitan hasil survei di media massa.
Atau dalam sejarah Amerika, ketika publik disuguhkan setiap harinya tentang kekejaman bangsa Hun (Jerman), kebangkitan red scare dan begitu mengerikannya senjata pemusnah masal. Dan ketika, publik amerika di suguhkan penelitian dan survei, salah satu penelitian oleh University of Massachusetts yang mengungkap dua dari tiga orang Amerika menganggap bahwa kita harus terlibat aktif melalui kekuatan militer terhadap kependudukan ilegal dan pelanggaran HAM. Jika kita konsisten terhadap pendapat ini, maka Amerika juga harus membombardir Indonesia atas invasi Indonesia atas Timor-Timur atas sekitar 200.000 jiwa yang meninggal dibawah dukungan Amerika atas jalan diplomasi dan militer yang dilakukan pemerintah Indonesia. Atau membombardir El Salvador, Guatemala, Tel Aviv, Cape Town, Turki, Washington dan negara dan negara-negara lain yang melakukan aneksasi, kependudukan ilegal dan agresi militer junto pelanggaran hak asasi kemanusian.
Atau kita bisa belajar dari propaganda yang dinisbatkan Amerika terhadap Irak, ketika sebagian oposisi Irak bersepakat untuk melakukan perundingan atas invasi Saddam Husein terhadap Kuwait namun media Amerika tak satupun meliput proposal mereka. Pertengahan Januari, sebelum kepul asap senjata membombardir Irak, Washington Post mensurvei dengan hasil dua per tiga orang Amerika bahkan dunia juga oposisi Irak sepakat dengan alternatif perundingan damai. Namun para responden merasa dirinya sendiri memikirkan dan menjadi “orang gila” karena dalam halaman surat kabar dan layar televisi empu masyarakat bersama “mayoritas” adalah yang mendukung perang dan tak berpikir membuat bungker dan berlindung atas senjata pemusnah masal.
Dan pada akhirnya, jikalau kita masih belum terbiasa dan belum mengetahui terhadap apa yang menjadi pengetahuan yang terlihat underground dan minim pemberitaan, bukan berarti peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, namun karena kita sedari awal sudah dihalang-halangi untuk mengetahui informasi dan diarahkan menjadi sekumpulan pandir yang selalu terbawa euforia masa. Dan bahwa memang terbukti, dalam sistem demokrasi yang membedakannya dengan otoritarian adalah rakyat yang diberi kebebasan “memilih” dan dengan simbol-simbol demokrasi dalam alam kemerdekaan, tidak seperti otoritarian yang melakukannya dengan keterpaksaan, ya semua ini terjadi di bawah payung demokrasi dan kebebasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H