Padahal menurut perkiraan World Bank (2009), lahan optimal Indonesia mencapai 836,106 kilometer persegi. Ini artinya, jika ditanami dua kali saja dalam setahun, maka potensi budidayanya sekitar 167,22 juta hektar.Â
Apalagi bila ditanami tiga kali setahun atau dibudidayakan sepanjang tahun. Â Negara China dan India yang juga memiliki lahan yang dapat ditanami dan lahan optimal jauh lebih besar dibanding Indonesia. Namun, bila dibandingkan dalam lahan dengan karakteristik tropis, potensi pertanian tropis Indonesia justru lebih besar bila dibandingkan dengan China --yang hampir sebagian besar lahannya adalah subtropis. Apalagi bila hanya dibandingkan dengan India.
Seharusnya, dengan potensi lahan yang tersedia, petani Indonesia bisa memperoleh tingkat pendapatan yang tinggi. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, nilai tambah yang dihasilkan dan dinikmati petani Indonesia malah termasuk yang terendah di dunia meski masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan China dan India.Â
Data membuktikan bahwa dalam rentang 2003-2005, rata-rata hanya 538 dolar setahun atau hanya setara dengan Rp 5.830 juta per tahun atau Rp 486 ribu per bulannya.
Tentu saja hal ini dapat diibartkan ayam mati di lumbung padi. Kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan dan rendahnya pendapatan masih melekat pada bangsa ini, termasuk para petaninya. Muaranya, perekonomian nasional pun dihadapkan pada kondisi penguasaan dan ketergantungan yang sangat kuat dan relatif besar kepada kekuatan dan kepentingan asing.
Kondisi ini bahkan diperkirakan telah berlangsung lama. Indikasi keterlibatan kekuatan dan kepentingan asing ini sangat jelas tergambar dalam pengusahaan dan pengelolaan sumber daya minyak dan gas serta sumber daya mineral lainnya seperti batubara, emas dan tembaga. Dalam dekade belakangan ini, penguasaan dan ketergantungan kepada kekuatan dan kepentingan asing ini telah merambat ke bidang dan sektor ekonomi utama lainnya.
Tak hanya itu, penguasaan dan kebergantungan kepada kekuatan dan kepentingan asing ini pun telah berlangsung lama dan terjadi di bidang agribisnis, seperti perusahaan benih, pestisida, obat-obatan pertanian, serta alat dan mesin pertanian.Â
Di bidang perikanan pun setali tiga uang, kekuatan dan kepentingan asing telah merasuk kuat seperti pada perbenihan, pakan dan obat-obatan, bahkan pada perkapalan dan alat tangkap ikan. Hal yang sama juga terjadi di industri otomotif, elektronik, dan berbagai bisnis strategis lainnya.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya, sistem perekonomian yang dianut bangsa ini harus diubah menjadi system ekonomi kerakyatan seperti yang tercantum pada Undang udnang dasar 1945 pada pasal 33 tentang perekonomian. Diperlukan keberpihakan efektif yang diikuti dengan reorientasi dan penajaman kembali strategi dan kebijakan pembangunan nasional.
Semestinya dengan modal kemerdekaan yang telah dicapai dan kesatuan yang utuh serta kuat yang telah diperoleh, maka Indonesia sebagai bangsa dan negara mampu berdaulat dalam seluruh bidang kehidupan. Namun nyatanya, menurut pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), kepentingan rakyat banyak sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi tereleminasi dan dikalahkan oleh kepentingan serta dominasi asing.
Memang negara-negara lain juga mengalami goncangan krisis ekonomi, tetapi dampak dan kemampuan untuk pulih Indonesia jauh lebih buruk dan lemah.Â