Sesuatu yang khas dan ditunggu oleh masyarakat setiap tahunnya pada acara grebeg sekaten adalah arak-arakan gunungan atau dalam bahasa Indonesia disebut pawai prosesi gunungan. Bagi masyarakat Yogyakarta, gunungan sendiri memiliki filosofi sebagai wujud rasa syukur atas kemakmuran sultan dari keraton yang kemudian dibagikan kepada rakyatnya. Gunungan merepresentasikan hasil bumi berupa sayur dan buah-buahan serta jajanan tradisional berupa wajik yang terdiri dari 5 warna yaitu putih, merah, kuning, hijau serta hitam. Warna-warna tersebut tentunya memiliki filosofi, dikutip dari website resmi Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Daerah Istimewa Yogyakarta, 4 warna yang merupakan warna putih, merah, kuning, serta hitam merupakan satu bentuk ungkapan kepercayaan Jawa yang meyakini bahwa kelahiran setiap insan ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa selalu disertai oleh empat unsur saudara. Kepercayaan ini disebut dengan Kandhang Papat atau empat bersaudara dengan rincian sebagai berikut. Warna putih disebut kakang kawah yang memiliki tugas melindungi seluruh jasad manusia (kawah berarti placenta). Kemudian, warna merah disebut Arinta rah, tugasnya mengarahkan kelakuan baik. Warna kuning, disebut Adhi ari-ari yang tugasnya melindungi langkah-langkah hidup. Serta warna hitam disebut Arinta puser yang bertugas melindungi suara. Sedangkan warna hijau dalam gunungan ini memiliki arti kemakmuran masyarakat. Konsepsi ini dalam kepercayaan masyarakat juga berlaku untuk para makhluk halus atau dewa-dewa penjaga empat penjuru mata angin dan satu penjaga pusat. Dahulu bahkan konsepsi empat satu itu diberlakukan juga untuk pola pedesaan di Yogyakarta.
Gangsa yang digunakan dalam prosesi ini memiliki sejarah tersendiri, menurut informasi yang terdapat di keraton, gangsa yang digunakan dalam prosesi grebeg sekaten merupakan warisan dari Kerajaan Mataram yang bernama Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Akibat dari adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, Kiai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kiai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Kasultanan Yogyakarta membuat putran (duplikasi) dari Kiai Guntursari yang diberi nama Kiai Nagawilaga. Prosesi tabuh gamelan ini dibunyikan sepanjang hari dari satu minggu sebelum maulid nabi (satu minggu sebelum grebeg sekaten dilakukan). Gamelan dibunyikan tiga kali sehari. Akan tetapi khusus pada Kamis sore hingga Jumat setelah jumatan gamelan tidak dibunyikan.
Setelah gunungan sampai di area Masjid Gedhe Kauman, masyarakat yang semula berada di pinggir jalan dari keraton hingga majid berbondong-bondong merapat menuju halaman masjid. Tampak antusias. Mereka kemudian berdesak-desakan untuk mengambil gunungan yang ada. Ketika penulis berada di area masjid, sekilas penulis mendengar pembicaraan dua orang masyarakat yang ikut merebut gunungan.
Dari percakapan sekilas itulah, penulis mengambil kesimpulan bahwa masyarakat masih memegang kepercayaan terdahulu yang apabila mendapat salah satu bagian dari gunungan keraton, maka akan mendapatkan keberuntungan serta berkah dari sultan karena gunungan sudah diupacarakan langsung oleh sultan. Pada awalnya penulis menganggap prosesi ini hanyalah salah satu strategi keraton untuk menjaga eksistensi wisata yang ada. Namun, setelah menelisik lebih dalam ternyata terdapat makna yang mendalam dari rangkaian prosesi grebeg sekaten selain sebagai bentuk perayaan maulid nabi.
Berdasar pada e-book berjudul “Mengenal Perayaan Tradisional” rangkaian grebeg sekaten selain sebagai upaya pelestarian budaya juga memiliki maksud lain yaitu, syiar agama. Mengacu pada sejarah awal ketika Raden Patah beserta wali lain (Wali Songo) mengalami kesulitan dalam penyampaian ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan masyarakat dahulu masih memegang erat kepercayaan lama. Berbagai tradisi sudah terus dilestarikan dengan ditambah bumbu spiritual oleh para wali namun hanya terdapat sedikit masyarakat yang tertarik dengan hal tersebut. Kebetulan, rakyat Majapahit juga mewarisi tradisi keramaian tahunan. Pada masa Prabu Brawijaya V, tradisi tahunan selalu diramaikan dengan memperdengarkan gamelan pusaka yang bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima. Mereka mempercayai gamelan tersebut sakti dan memberkati. Setiap keramaian yang diiringi irama gamelan akan sangat menarik perhatian masyarakat untuk hadir. Oleh karenanya, para Wali Songo memutuskan menggunakan cara tersebut guna mengumpulkan masyarakat. Gamelan dibunyikan tepat di depan masjid. Kemudian, ketika masyarakat berkumpul itulah, lantas para wali menggunakannya untuk kesempatan dakwah menyebarkan agama islam.
Akhirnya, dengan penyampaian yang memiliki kesan menyenangkan dan mudah dipahami masyarakat. Banyak dari mereka yang kemudian ikut memeluk agama islam. Dari sejak itulah gamelan selalu dibunyikan di Masjid Gedhe Kauman ketika akan diadakan grebeg maulid nabi. Hal ini memiliki maksud untuk menarik perhatian masyarakat. Jika dahulu digunakan agar masyarakat ikut memeluk agama islam, maka untuk masa saat ini tujuannya adalah agar masyarakat tertarik menuju masjid guna melaksanakan sholat serta mengikuti rangkaian pengajian yang dalam rangka memperingati hari lahir nabi. Prosesi ini merupakan bentuk syiar agama islam melalui media kebudayaan, seperti apa yang dilakukan walisongo pada sejarahnya dahulu.
Selain itu, perebutan gunungan yang ada di grebeg sekaten juga memiliki makna yang luar biasa. Budaya gotong royong misalnya. Pembawaan gunungan yang melibatkan banyak orang, merupakan salah satu cara menjaga budaya dari segi sosial yaitu gotong royong. Hal ini merupakan salah satu dari banyaknya pelajaran yang dapat diambil dari tradisi ini. Selain itu, acara yang dilaksanakan satu tahun sekali ini dapat merekatkan hubungan kekeluargaan baik dengan masyarakat Yogyakarta maupun luar. Dapat dilihat ketika mereka menyaksikan arak-arakan gunungan. Ketika ada anak kecil yang tidak terjangkau untuk melihat pasukan bregada yang lewat, lantas masyarakat yang merasa tinggi pindah ke belakang dan mempersilahkan anak tersebut maju. Ini merupakan bentuk menghargai dan toleransi yang paling sederhana. Akan tetapi dibalik kelebihan serta pelajaran yang ada, grebeg sekaten ini memiliki kekurangan dalam hal perebutan gunungan. Sebab, dalam hal ini banyak masyarakat yang antusias merebut gunungan sehingga tidak memperhatikan sekitarnya. Sehingga, desak-desakan yang ditimbulkan dapat membuat beberapa masyarakat jatuh bahkan terinjak-injak, tentu saja ini merugikan diri mereka sendiri. Selain itu penyalahgunaan tradisi grebeg sekaten oleh beberapa pihak misalnya adanya pungutan liar uang parkir. Banyak oknum yang memanfaatkan tradisi ini dengan menarik uang parkir tidak sesuai ketentuan undang-undang berlaku. Contohnya saja seharusnya hanya Rp3.000,00 menjadi Rp10.000,00. Hal ini tentu saja menciptakan citra buruk pariwisata Jogja. Apabila hal itu ditindak oleh pihak berwenang maka dapat dikatakan bahwa tradisi grebeg sekaten di Yogyakarta merupakan event tahunan yang sempurna.
Sumber Referensi
“Numplak Wajik - Yogyakarta.” Kraton Jogja, 7 May 2019, https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/16-numplak-wajik/. Accessed 29 September 2024.
Pratisara, Devina. “GREBEG MAULUD YOGYAKARTA SEBAGAI SIMBOL ISLAM KEJAWEN YANG MASIH DILINDUNGI OLEH MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF NILAI PANCASILA.” Jurnal Pancasila, vol. 01, 2020, https://journal.ugm.ac.id/pancasila/article/view/52090/52090. Accessed 26 September 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI