Mohon tunggu...
AKMALIA JESA FAHREVI
AKMALIA JESA FAHREVI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate student of Indonesian Language and Literature Development, Faculty of Cultural Sciences, Gadjah Mada University

Mahasiswa yang memiliki minat mendalam dalam dunia tulis-menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Grebeg Sekaten; Menjaga Budaya Syiar Agama

1 Februari 2025   17:31 Diperbarui: 1 Februari 2025   17:40 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

AD_4nXcFXXZemYVWrWXNq3a-9c-vR60PpQnQrLpiZj1icGog0JDO5Fh4JJm_gfRNhHj4OoHlVn0bbeXcwjwDTpFw516MO1uFMJHzoEEvpSpveC491RT7yzDgu3-42_USkF00B3imeD3t6qh6JyvTot-Pu15ZM0lxd71q8CcJeVV2wChLkZXtnXwlZE0?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
AD_4nXcFXXZemYVWrWXNq3a-9c-vR60PpQnQrLpiZj1icGog0JDO5Fh4JJm_gfRNhHj4OoHlVn0bbeXcwjwDTpFw516MO1uFMJHzoEEvpSpveC491RT7yzDgu3-42_USkF00B3imeD3t6qh6JyvTot-Pu15ZM0lxd71q8CcJeVV2wChLkZXtnXwlZE0?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
Yogyakarta selain dikenal sebagai kota pelajar juga terkenal dengan kota yang kental akan budaya. Di era modern saat ini, tentu saja kota Jogja mengalami perubahan yang cukup signifikan di bidang sosial. Namun, kota ini tidak mengalami banyak perubahan di bidang kebudayaan. Dengan adanya keraton yang masih digunakan sebagai pusat kepemimpinan kota hingga saat ini, tradisi adat masih tetap terjaga. Kebudayaan serta tradisi yang dimiliki daerah istimewa ini tergolong unik sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi warga asing untuk berkunjung dan menyaksikan pagelaran tradisi yang masih kental terjaga. Salah satu yang paling mencolok ialah islam kejawen. Islam kejawen merupakan perpaduan antara agama islam dan budaya jawa yang menjadi satu dan berkesinambungan satu sama lain. Islam kejawen muncul pada masa kerajaan demak yang disebarkan oleh para Walisongo agar masyarakat jawa dapat menganut agama islam (Pratisara, 2020). Perayaan grebeg sekaten adalah salah satu contoh dari budaya islam kejawen. Grebeg sekaten merupakan tradisi upacara yang dilaksanakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW  (maulid nabi). Dikutip dari website resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, kata grebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan mataram islam, abad ke-8. 

Sesuatu yang khas dan ditunggu oleh masyarakat setiap tahunnya pada acara grebeg sekaten adalah arak-arakan gunungan atau dalam bahasa Indonesia disebut pawai prosesi gunungan. Bagi masyarakat Yogyakarta, gunungan sendiri memiliki filosofi sebagai wujud rasa syukur atas kemakmuran sultan dari keraton yang kemudian dibagikan kepada rakyatnya. Gunungan merepresentasikan hasil bumi berupa sayur dan buah-buahan serta jajanan tradisional berupa wajik yang terdiri dari 5 warna yaitu putih, merah, kuning, hijau serta hitam. Warna-warna tersebut tentunya memiliki filosofi, dikutip dari website resmi Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Daerah Istimewa Yogyakarta, 4 warna yang merupakan warna putih, merah, kuning, serta hitam merupakan satu bentuk ungkapan kepercayaan Jawa yang meyakini bahwa kelahiran setiap insan ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa selalu disertai oleh empat unsur saudara. Kepercayaan ini disebut dengan Kandhang Papat atau empat bersaudara dengan rincian sebagai berikut. Warna putih disebut kakang kawah yang memiliki tugas melindungi seluruh jasad manusia (kawah berarti placenta). Kemudian, warna merah disebut Arinta rah, tugasnya mengarahkan kelakuan baik. Warna kuning, disebut Adhi ari-ari yang tugasnya melindungi langkah-langkah hidup. Serta warna hitam disebut  Arinta puser yang bertugas melindungi suara. Sedangkan warna hijau dalam gunungan ini memiliki arti kemakmuran masyarakat. Konsepsi ini dalam kepercayaan masyarakat juga berlaku untuk para makhluk halus atau dewa-dewa penjaga empat penjuru mata angin dan satu penjaga pusat. Dahulu bahkan konsepsi empat satu itu diberlakukan juga untuk pola pedesaan di Yogyakarta.

AD_4nXcATY97sar_qnUZnIu-pbv2DutksStwrAaJqz62fezAFBantggw0NyIr6_uki1ySXaYnL9pH2EmI3gHIGaaE8nKdRgPa3VfOPw3RUeRF7a344sVifbVvMapvKsoPPsWV7kG2SrzJVUwDVIZVT2nbDgi-EKaCzvK_hwXE1tRvY2eAOFPYsae3A?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
AD_4nXcATY97sar_qnUZnIu-pbv2DutksStwrAaJqz62fezAFBantggw0NyIr6_uki1ySXaYnL9pH2EmI3gHIGaaE8nKdRgPa3VfOPw3RUeRF7a344sVifbVvMapvKsoPPsWV7kG2SrzJVUwDVIZVT2nbDgi-EKaCzvK_hwXE1tRvY2eAOFPYsae3A?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
AD_4nXdm6ZkW3_jgsqYym9fcEQ0cV5guhhSIeIZIVdA7W3Re7owVbS41CpiA8FtkmafyJLIkV4DteBf8jZWbCChgaXeQ8ymoctXtRkShbn7TXevSvwWiewfCr9NMd4lpbGPWOnKjn4MGLtyZ7uYRVcBqg1OIkLa3b_cVprlBDgCE0c2Qqw-z2JFN3fo?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
AD_4nXdm6ZkW3_jgsqYym9fcEQ0cV5guhhSIeIZIVdA7W3Re7owVbS41CpiA8FtkmafyJLIkV4DteBf8jZWbCChgaXeQ8ymoctXtRkShbn7TXevSvwWiewfCr9NMd4lpbGPWOnKjn4MGLtyZ7uYRVcBqg1OIkLa3b_cVprlBDgCE0c2Qqw-z2JFN3fo?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
 Gunungan dibawa keluar dari keraton setelah di dalamnya diadakan upacara dan doa yang dipimpin langsung oleh Sultan. Dengan diiringi pasukan bregada, gunungan dibawa hingga di plataran Masjid Gedhe Kauman. Masjid tersebut merupakan pusat keagamaan islam yang ada di Yogyakarta.  Antusiasme masyarakat tampak di sepanjang jalan dari keraton menuju Masjid Gedhe Kauman. Satu minggu sebelum dilakukannya arak-arakan gunungan yang merupakan prosesi puncak grebeg sekaten, di masjid ini juga terdapat prosesi tabuh gamelan yang dipercaya dapat mendatangkan umat lebih banyak. Gamelan atau gangsa (penyebutan dalam bahasa jawa) dibawa keluar dari keraton tepatnya Bangsal Pancaniti sebagai tanda akan adanya grebeg sekaten dalam rangka maulid nabi. Gamelan kemudian diletakan di area masjid dan ditabuh atau dalam bahasa Indonesia berarti dipukul atau dibunyikan oleh Abdi Dalem Kridha Mardawa. 

Gangsa yang digunakan dalam prosesi ini memiliki sejarah tersendiri, menurut informasi yang terdapat di keraton, gangsa yang digunakan dalam prosesi grebeg sekaten merupakan warisan dari Kerajaan Mataram yang bernama Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Akibat dari adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, Kiai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kiai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Kasultanan Yogyakarta membuat putran (duplikasi) dari Kiai Guntursari yang diberi nama Kiai Nagawilaga. Prosesi tabuh gamelan ini dibunyikan sepanjang hari dari satu minggu sebelum maulid nabi  (satu minggu sebelum grebeg sekaten dilakukan). Gamelan dibunyikan tiga kali sehari. Akan tetapi khusus pada Kamis sore hingga Jumat setelah jumatan gamelan tidak dibunyikan.

Setelah gunungan sampai di area Masjid Gedhe Kauman, masyarakat yang semula berada di pinggir jalan dari keraton hingga majid berbondong-bondong merapat menuju halaman masjid. Tampak antusias. Mereka kemudian berdesak-desakan untuk mengambil gunungan yang ada. Ketika penulis berada di area masjid, sekilas penulis mendengar pembicaraan dua orang masyarakat yang ikut merebut gunungan. 

AD_4nXerrDIKtVph6qOP8wS71imtp3i8ohWUJPbygd9bh3KQh8ZJ88xdsGZiiiHc3c6LWUqtvCreXwiVAEqmAQEH9waNrdESxQ0jQMk89GFt2igp0IRtmMceIrgPGaTuxdelyQTuCqobmP6Gjy-kBHvIGGVHcgckPCqGdjA-n5QxaXKzcUJzKXDPUA?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
AD_4nXerrDIKtVph6qOP8wS71imtp3i8ohWUJPbygd9bh3KQh8ZJ88xdsGZiiiHc3c6LWUqtvCreXwiVAEqmAQEH9waNrdESxQ0jQMk89GFt2igp0IRtmMceIrgPGaTuxdelyQTuCqobmP6Gjy-kBHvIGGVHcgckPCqGdjA-n5QxaXKzcUJzKXDPUA?key=TUIdSx-JmjmcN5YV39jLDw
Ayo gek maju kono, aku wes entuk. Iki arep tak tancepke pinggir sawah ben entuk berkah e sultan, panen e akeh”  (Ayo segera maju kesana, aku sudah dapat. Ini mau tak tanam di sawah tepi sawah supaya mendapatkan berkah sultan, panennya melimpah).  

Dari percakapan sekilas itulah, penulis mengambil kesimpulan bahwa masyarakat masih memegang kepercayaan terdahulu yang apabila mendapat salah satu bagian dari gunungan keraton, maka akan mendapatkan keberuntungan serta berkah dari sultan karena gunungan sudah diupacarakan langsung oleh sultan. Pada awalnya penulis menganggap prosesi ini hanyalah salah satu strategi keraton untuk menjaga eksistensi wisata yang ada. Namun, setelah menelisik lebih dalam ternyata terdapat makna yang mendalam dari rangkaian prosesi grebeg sekaten selain sebagai bentuk perayaan maulid nabi. 

Berdasar pada e-book berjudul “Mengenal Perayaan Tradisional” rangkaian grebeg sekaten selain sebagai upaya pelestarian budaya juga memiliki maksud lain yaitu, syiar agama. Mengacu pada sejarah awal ketika Raden Patah beserta wali lain (Wali Songo) mengalami kesulitan dalam penyampaian ajaran agama islam.  Hal ini dikarenakan masyarakat dahulu masih memegang erat kepercayaan lama. Berbagai tradisi sudah terus dilestarikan dengan ditambah bumbu spiritual oleh para wali namun hanya terdapat sedikit masyarakat yang tertarik dengan hal tersebut. Kebetulan, rakyat Majapahit juga mewarisi tradisi keramaian tahunan. Pada masa Prabu Brawijaya V, tradisi tahunan selalu diramaikan dengan memperdengarkan gamelan pusaka yang bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima. Mereka mempercayai gamelan tersebut sakti dan memberkati. Setiap keramaian yang diiringi irama gamelan akan sangat menarik perhatian masyarakat untuk hadir. Oleh karenanya, para Wali Songo memutuskan menggunakan cara tersebut guna mengumpulkan masyarakat. Gamelan dibunyikan tepat di depan masjid. Kemudian, ketika masyarakat berkumpul itulah, lantas para wali menggunakannya untuk kesempatan dakwah menyebarkan agama islam. 

Akhirnya, dengan penyampaian yang memiliki kesan menyenangkan dan mudah dipahami masyarakat. Banyak dari mereka yang kemudian ikut memeluk agama islam. Dari sejak itulah gamelan selalu dibunyikan di Masjid Gedhe Kauman ketika akan diadakan grebeg maulid nabi. Hal ini memiliki maksud untuk menarik perhatian masyarakat. Jika dahulu digunakan agar masyarakat ikut memeluk agama islam, maka untuk masa saat ini tujuannya adalah agar masyarakat tertarik menuju masjid guna melaksanakan sholat serta mengikuti rangkaian pengajian yang dalam rangka memperingati hari lahir nabi. Prosesi ini merupakan bentuk syiar agama islam melalui media kebudayaan, seperti apa yang dilakukan walisongo pada sejarahnya dahulu.

Selain itu, perebutan gunungan yang ada di grebeg sekaten juga memiliki makna yang luar biasa. Budaya gotong royong misalnya. Pembawaan gunungan yang melibatkan banyak orang, merupakan salah satu cara menjaga budaya dari segi sosial yaitu gotong royong. Hal ini merupakan salah satu dari banyaknya pelajaran yang dapat diambil dari tradisi ini. Selain itu, acara yang dilaksanakan satu tahun sekali ini dapat merekatkan hubungan kekeluargaan baik dengan masyarakat Yogyakarta maupun luar. Dapat dilihat ketika mereka menyaksikan arak-arakan gunungan. Ketika ada anak kecil yang tidak terjangkau untuk melihat pasukan bregada yang lewat, lantas masyarakat yang merasa tinggi pindah ke belakang dan mempersilahkan anak tersebut maju. Ini merupakan bentuk menghargai dan toleransi yang paling sederhana. Akan tetapi dibalik kelebihan serta pelajaran yang ada, grebeg sekaten ini memiliki kekurangan dalam hal perebutan gunungan. Sebab, dalam hal ini banyak masyarakat yang antusias merebut gunungan sehingga tidak memperhatikan sekitarnya. Sehingga, desak-desakan yang ditimbulkan dapat membuat beberapa masyarakat jatuh bahkan terinjak-injak, tentu saja ini merugikan diri mereka sendiri. Selain itu penyalahgunaan tradisi grebeg sekaten oleh beberapa pihak misalnya adanya pungutan liar uang parkir. Banyak oknum yang memanfaatkan tradisi ini dengan menarik uang parkir tidak sesuai ketentuan undang-undang berlaku. Contohnya saja seharusnya hanya Rp3.000,00 menjadi Rp10.000,00. Hal ini tentu saja menciptakan citra buruk pariwisata Jogja. Apabila hal itu ditindak oleh pihak berwenang maka dapat dikatakan bahwa tradisi grebeg sekaten di Yogyakarta merupakan event tahunan yang sempurna. 

Sumber Referensi 

“Numplak Wajik - Yogyakarta.” Kraton Jogja, 7 May 2019, https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/16-numplak-wajik/. Accessed 29 September 2024.

Pratisara, Devina. “GREBEG MAULUD YOGYAKARTA SEBAGAI SIMBOL ISLAM KEJAWEN YANG MASIH DILINDUNGI OLEH MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF NILAI PANCASILA.” Jurnal Pancasila, vol. 01, 2020, https://journal.ugm.ac.id/pancasila/article/view/52090/52090. Accessed 26 September 2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun