Mohon tunggu...
Akmal Aqil Wahyu
Akmal Aqil Wahyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Lepas

Merayakan bertambahnya usia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Krisis Iklim di Indonesia: Tantangan Lingkungan yang Mengancam

18 November 2023   13:02 Diperbarui: 18 November 2023   16:17 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/trees-tree-canopy-forest-branches-5605176/

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman alam. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan.

Akhir-akhir ini Indonesia tengah menghadapi krisis iklim yang cukup memprihatinkan. Perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan dampak yang signifikan di penjuru negeri. Dampak yang ditimbulkan meliputi kenaikan suhu yang ekstrim, gangguan pada musim hujan, dan terjadinya kebakaran hutan.

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2021, Indonesia mencatat suhu tertinggi sepanjang sejarah dengan 40,3 derajat Celsius di wilayah Kebumen, Jawa Tengah.

Peristiwa ini diduga akan berakibat besar di beberapa tahun kedepan. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia. Kondisi ini menurutnya sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization di akhir tahun 2022 yang lalu, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara dan State di seluruh dunia.

Organisasi pangan dunia FAO, kata Dwikorita, juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.

Dwikorita memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.

Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.

Dikutip dari website forestdigest.com, penelitian menyebutkan bahwa kenaikan suhu bumi dan curah hujan yang tidak menentu merupakan penyebab umum terjadinya konflik hewan-manusia, yaitu 80% dari kasus yang diteliti. Sementara itu, dari segi dampak, konflik manusia-satwa liar menyebabkan cedera atau kematian pada manusia (43% kasus yang diteliti), cedera dan kematian satwa liar (45% kasus yang diteliti), serta hilangnya produk pertanian dan ternak (45% kasus yang diteliti).

Di Indonesia, konflik antara satwa liar dan manusia beberapa kali terjadi. Kebakaran hutan yang dipicu oleh El Nio menyebabkan gajah sumatera dan harimau sumatera meninggalkan habitatnya dan memasuki pemukiman warga untuk mencari makan. Februari lalu, seorang petani di Kabupaten Tangse, Aceh tewas akibat terinjak kawanan gajah liar yang memasuki kebunnya.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam perubahan iklim ini adalah deforestasi. Deforestasi adalah kondisi luas hutan yang mengalami penurunan yang disebabkan oleh konvensi lahan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan. 

Deforestasi bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni manusia dan alam. Namun, aktivitas manusia memiliki dampak yang besar dalam hal ini.

Tingkat deforestasi hutan di Indonesia di Tahun 1985 sampai 1998 melampaui 1,6 sampai 1,8 hektar di setiap tahunnya.  Angka deforestasi yang tinggi tiap tahunnya menyebabkan hilangnya hutan yang akan memberikan dampak negatif pada keberlanjutan lingkungan maupun kehidupan sosial, yang mampu menimbulkan efek buruk secara langsung maupun berdampak pada masa yang akan datang.

Menurut data yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2020), Indonesia memiliki angka deforestasi yang cukup besar. 

http://greengrowth.bappenas.go.id/
http://greengrowth.bappenas.go.id/

Gambar di atas menyajikan angka deforestasi di Indonesia yang dapat diketahui bahwa tingkat deforestasi atau hilangnya lahan hutan terjadi pada Tahun 1985 hingga Tahun 1998 dengan angka sekitar 1,6 hingga 1,8 juta hektar setiap tahunnya.

Selanjutnya Tahun 2000 tingkat deforestasi kian meningkat menjadi 2 juta hektar, Tahun 2013-2014 mengalami penurunan deforestasi pada 0,4 juta hektar per Tahunnya, selanjutnya pada di Tahun 2014-2015 kembali mengalami peningkatakan yakni pada angka 1,09 juta hektar disetiap tahunya, dan pada tahun 2016 sampai 2017 kembali mengalami penurunan yaitu pada 0,48 juta hektar.

Beberapa upaya mulai dilakukan untuk mengendalikan perubahan iklim. Diantarannya ialah penetapan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca(GRK). Dikutip dari http://greengrowth.bappenas.go.id/ perjanjian Paris mengharuskan Indonesia untuk menguraikan dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim pasca-2020 dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) dan diserahkan kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).

Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Dalam rangka mengatasi krisis iklim yang semakin memburuk, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi deforestasi, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelestarian lingkungan, dan bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengurangi emisi GRK. Upaya ini penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, kehidupan manusia, dan ekosistem di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun