Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman alam. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan.
Akhir-akhir ini Indonesia tengah menghadapi krisis iklim yang cukup memprihatinkan. Perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan dampak yang signifikan di penjuru negeri. Dampak yang ditimbulkan meliputi kenaikan suhu yang ekstrim, gangguan pada musim hujan, dan terjadinya kebakaran hutan.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2021, Indonesia mencatat suhu tertinggi sepanjang sejarah dengan 40,3 derajat Celsius di wilayah Kebumen, Jawa Tengah.
Peristiwa ini diduga akan berakibat besar di beberapa tahun kedepan. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia. Kondisi ini menurutnya sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization di akhir tahun 2022 yang lalu, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara dan State di seluruh dunia.
Organisasi pangan dunia FAO, kata Dwikorita, juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
Dwikorita memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.
Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.
Dikutip dari website forestdigest.com, penelitian menyebutkan bahwa kenaikan suhu bumi dan curah hujan yang tidak menentu merupakan penyebab umum terjadinya konflik hewan-manusia, yaitu 80% dari kasus yang diteliti. Sementara itu, dari segi dampak, konflik manusia-satwa liar menyebabkan cedera atau kematian pada manusia (43% kasus yang diteliti), cedera dan kematian satwa liar (45% kasus yang diteliti), serta hilangnya produk pertanian dan ternak (45% kasus yang diteliti).
Di Indonesia, konflik antara satwa liar dan manusia beberapa kali terjadi. Kebakaran hutan yang dipicu oleh El Nio menyebabkan gajah sumatera dan harimau sumatera meninggalkan habitatnya dan memasuki pemukiman warga untuk mencari makan. Februari lalu, seorang petani di Kabupaten Tangse, Aceh tewas akibat terinjak kawanan gajah liar yang memasuki kebunnya.
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam perubahan iklim ini adalah deforestasi. Deforestasi adalah kondisi luas hutan yang mengalami penurunan yang disebabkan oleh konvensi lahan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan.Â