Mohon tunggu...
Akmal M Roem
Akmal M Roem Mohon Tunggu... wiraswasta -

menyukai sesuatu yang mudah dipahami, enak dibaca, segar untuk dicerna, senang untuk dikerjakan. Guru SM-3T Aceh. Mengajar di pedalaman Kalimantan Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Baju Baru untuk Halimah

8 Mei 2011   05:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Halimah sedang tidak menyukai permen atau main karet bersama Laila dan Lusi. Dia sedang menunggu kepulangan Ayah. Raut wajahnya menukilkan kepedihan yang teramat dalam. Kecut. Ingin menangis. Tapi sayang, dia sama sekali tidak bisa menangis di tempat ini. Padahal banyak sekali hal yang ingin ditangisinya. Apalagi untuk anak seumur dia. Pasti perlu banyak menangis untuk mendapatkan sesuatu. Namun, sekali lagi, menangis bukanlah hal yang baik baginya. Bila sedih dia lebih memilih memandang langit atau hutan ketimbang harus membuat matanya berair. Menangis itu mengeluarkan air. Bila air dalam tubuh kita sudah kering maka kau akan haus dan kita akan merasa lemas sekali. Jadi, jangan sering menangis. Nanti kau akan keseringan haus dan menjadi lemas. Begitu kira tipu Mak bila melihat Halimah mulai sedih. Bila mengingat kata Mak itu, Halimah menjadi gadis yang kuat. Tak bisa menangis. Dia hanya mampu memendam rasa sedih itu.

Saat itu, Halimah tidak sedang berpikir untuk menggambar gunung seperti yang diajarkan gurunya. Ia bahkan tidak ingat apa yang seperti dikatakan ibu guru saat mengamati gunung lalu menggambarkannya di kertas. Gunung yang ada hutan lebat, awan putih dan secarik cahaya matahari yang tersenyum di atasnya. Tapi kini Halimah sedang murka pada hutan. Hutan telah merenggut kebahagiaannya. Hutan yang ditatapnya itu telah membunuh keceriaanya.

Melihat Halimah yang berdiri diam sembari melihat gunung dengan awan mendung bergelayut di sana. Hati Mak gundah. Mak mencoba mendekatinya perlahan. Gemuruh terdengar sendu. Kecil dari kejauhan. Angin mulai merebahkan ilalang dan menggugurkan layu dedaunan. Mak pun bergegas ingin tahu kegundahan apa yang sedang dirasa Halimah.

“Apa yang sedang kau pikir, Nak?” Suara Mak pelan. “Ayah. Kapan dia pulang?” Halimah mendesah kecil. Mak jadi terdiam. Seketika suasana manjadi asing. Aneh. Mak selalu tidak bisa menjawab bila Halimah bertanya seperti itu. Kadang, agar Halimah melupa, Mak mengajaknya melihat pertandingan kicau burung yang dibikin pemuda kampung di lapangan ketika sore hari. Tapi menjelang magrib itu, Mak sama sekali tidak tahu harus memberi alasan apapun tentang pertanyaan Halimah. Mak hanya bisa diam. Lesu.

“Kita menunggu buka puasa di dalam, Nak. Sebentar lagi sudah magrib” rayu Mak agar Halimah bisa masuk ke dalam. “Mak saja yang masuk. Halimah ingin di sini dulu!” Hentaknya kasar. Mak tercengang. Suasana semakin tidak bersahabat. Mak linglung. Tidak tahu lagi harus membicarakan apa dengan Halimah. Banyak alasan yang sudah dia berikan selama ini. Selama ini Halimah sudah mempercayai alasan-alasan dari Mak. Tapi, tidak kali ini. Halimah benar-banar sudah bosan dengan alasan yang Mak berikan.

“Ayah janji kalau sudah pulang dari sana dia akan membawakan baju Lebaran untuk Halimah. Tapi, ini sudah hampir lebaran, ayah tak pulang, Mak! Bukankah ayah pergi sebelum kita mulai puasa? Lalu apa ayah tak ingat jalan pulang?” tanya Halimah. “Baju lebaran? Warna apa yang kau inginkan? Besok temani Mak ke pasar. Kita beli di sana saja.” Jawab Mak sambil merapikan letak selendang di kepalanya. “Aku ingin baju dari ayah. Seperti Lusi dan Laila. Mereka selalu dibelikan baju oleh Ayahnya. Tapi kenapa Halimah tak dibelikan baju oleh Ayah?” Teriak Halimah besar. Mak sedih bukan kepalang. “Mak tidak tahu, nak. Kita harus berdoa agar ayah cepat pulang. Bukan hanya Halimah, Mak juga sedih bila Halimah tidak semangat!”

Sesaat semua menjadi diam. Kedua mereka larut dalam kesedihan yang dasyat. Perlahan Halimah menatap Mak yang semakin galau dan sedih. “Mak sedih? Jangan menangis! Nanti Mak akan haus dan menjadi lemas!” seruduk Halimah. Mak tercengang. Diam dan tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.[]

(Banda Aceh, 2011)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun