Mohon tunggu...
Akmal M Roem
Akmal M Roem Mohon Tunggu... wiraswasta -

menyukai sesuatu yang mudah dipahami, enak dibaca, segar untuk dicerna, senang untuk dikerjakan. Guru SM-3T Aceh. Mengajar di pedalaman Kalimantan Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Baju Baru untuk Halimah

8 Mei 2011   05:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiga gadis kecil itu sedang bermain di pinggir kali. Dua dari mereka berdiri lurus. Mereka tarik pula satu ikat karet yang pajang. Lurus. Salah seorang dari mereka melompat tinggi-tinggi. Melangkahi panjang tali yang ditarik lurus itu. Tinggi sekali. Menutupi kecil bulat matahari. Ketika terjatuh, sama-sama tertawa. Semacam tawa yang lucu, hi hi hi dan ha ha ha.

Mereka selalu bermain bersama. Sedari kecil. Bila petang datang, tak ada yang mereka lewati dengan kesendirian. Hal itu akan mereka padai ketika senja datang. Itupun karena harus berada di rumah masing-masing. Malam tidak baik untuk mereka ajak bermain.

Sesuatu yang menyenangkan pasti akan dikerjakan bersama. Berbagi cerita dan tawa. Mereka sering mengintip acara televisi di rumah pak geuchik lewat lubang jendelanya. Siaran yang tak pernah mereka lewatkan; Kabuto dan serial anak si Unyil. Setelah menonton biasanya mereka bermain di pinggir kali; bermain masak-masakan, membikin sebuah keluarga–yang ada ayah, ibu dan anak–kecil, dokter-dokteran, dan pelbagai cerita asik juga bisa hadir dari tawa mereka. Paling tidak, cerita tentang hilang kartu main atau karet tanding yang disembunyikan ibu mereka.

Halulai. Begitu kata untuk nyebut singkat nama mereka bertiga. Entah dari  mana mereka belajar membuat singkatan seperti itu. Mereka selalu bertiga. Ya, semacam tim kecil barangkali. Halimah, Lusi, dan Laila. Ketiga gadis kecil yang nanti akan menjadi besar, cantik, pintar, dan baik hati. Setidaknya itu harapan keluarga mereka. Kini mereka sedang belajar menjadi ibu-ibu. Bermain seperti itu kiranya pada sebuah waktu yang menyenangkan. Hari yang biasa untuk dilalui. Bermain dan tertawa bersama di bawah matahari dan bisik angin kecil.

Hari itu, tempat yang biasa dijadikan tempat bermain terlihat begitu panas. Matahari persis di atas kepala. Tak berangin atau awan yang bisa membuat suasana sedikit sejuk. Pun demikian mereka bertiga tetap memutuskan untuk bermain di pinggir kali. Sebab, permainan yang kemarin belum habis mereka mainkan. Mereka sudah sangat mengenal tempat ini. Di kali inilah mereka sering tertawa, bertukar cerita atau bertengkar sesekali waktu.

“Sebentar lagi lebaran. Apa sudah ada yang dapat baju lebaran?” tanya Lusi sambil tersnyum. Menyembunyikan sesuatu. “Aku sudah. Aku warna merah jambu! Baju yang bagus.” Jawab Laila, bangga. “Chop. Aku warna ungu. Tak boleh ada yang sama!” Lanjut lusi besar nada. Sementara Halimah masih terdiam. Menyulut senyum yang rawan dan aneh sekali. Senyum yang kira-kira tak pernah mereka lihat sebelumnya di antara sesama mereka. “Kau sudah ada baju lebaran, Ha!” tanya Lusi. “Chop. Jangan beli wana merah jambu dan hijau juga. Aku sudah pesan ayahku untuk membeli baju warna hijau. Chop!” Seronoh Laila sambil berdiri tegap. Dia pasang wajah penuh kebahagiaan. Mendengar tentang baju-baju itu Halimah tertegun. Sedih bukan kepalang. Dia berlari jauh. Meningglkan Laila dan Lusi di sana. Halimah pulang ke rumah sendiri. Menyusuri petak sawah yang berair. Bila tak kontrol dia bisa jatuh dan ditelan lumpur. Tapi, siapa peduli dengan semua itu. Halimah sedang benar-benar sedih. Tapi tak bisa menangis sama sekali. Dukanya begitu hebat.

Baju baru di hari lebaran menjadi sesuatu yang beda di sini. Setiap anak-anak pasti akan mendapatkan sesuatu yang baru dari orang tuanya. Biasa mereka dibelikan baju baru, celana, sandal atau sepatu baru. Boleh dikata, itu semacam hal yang wajib. Pabila tak diberikan, serasa lebaran tak lengkap bagi mereka yang dini. Anak-anak di kampung selalu menunggu baju lebaran yang dibawa pulang ayah. Karena ayah mereka yang mencari uang untuk rumah oleh karenanya ayah pula yang harus membelikan baju lebaran itu. Bagi anak-anak yang sudah tak memiliki ayah, biasanya mereka mendapatkan baju lebaran dari kakek atau paman. Tapi, hal yang paling indah bagi mereka tetap menerima baju lebaran dari ayah.

Orang-orang kampung di sini masih suka berburu dan menebang kayu di hutan. Belum banyak yang bekerja di kota. Hanya ada beberapa pemuda yang kebetulan dikirim oleh orang tua mereka untuk belajar di kota. Beberapa di antaranya ada yang menjadi petani dan penebang kayu. Para perempuan biasanya mencari rotan dan ada juga yang hanya menunggu suaminya pulang membawa ikan hasil pancingan di kali.

***

Hari mulai tampak gelap. Satu persatu anak-anak kecil berlarian menuju rumah mereka. Masuk dan hilang dari jalanan. Saat orang-orang akan berkumpul dalam rumah atau surau barangkali. Mempersiapkan sesuatu untuk berbuka puasa. Tapi, sore yang tidak menyenangkan lantas keluar dari raut wajah Halimah. Ia masih menyimpan kesal atas pertanyaan Lusi dan Laila tadi. Tentang baju lebaran yang dibelikan ayah mereka.

Halimah menatap ke arah hutan di senja yang akan punah itu. Tatapannya jauh sekali. Kosong. Matanya berkaca. Seperti hendak mengeluarkan air. Menenggelamkan asa. Membunuh segala kepedihan yang telah terkumpul besar. Melenyapkan senja dengan amarah. Dia sedang berpikir untuk menangis hingga air mata itu akan menjadi lautan yang luas. Membuas dan siap menghanyutkan siapa saja. Tapi, dengan berat ia menahannya agar tak jatuh setetespun. Sesekali ia usap hidung dengan tangan kecilnya. Matanya merah. Terus mengarah ke hutan. Wajah muram. Mulut terkatub. Diam. Ia menyimpan satu hasrat besar pada hutan itu. Apa yang dipikirannya sama sekali bukan sebuah dendam atau kebencian. Ia hanya menyimpan rasa rindu yang begitu menyiksa. Barangkali rasa itu harus ia tuntaskan kali ini. Begitulah cara ia menunggu untuk mewujudkan keinginannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun