Perlu diketahui, Indonesia adalah salah satu Negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Sampah yang dihasilkan dari wilayah daratan terutama kota-kota besar.Â
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya.Â
Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat 9.710,61 meter kubik di 2016. Wilayah lain di luar Pulau Jawa yang angka produksi tinggi sampah adalah Kota Mamuju, yakni 7.383 meter kubik dan Kota Makassar sebesar 5.931,4 meter kubik pada 2016.
Selain menggunungnya sampah di Indonesia, rupanya sampah juga menyimpan masalah yang cukup serius bagi kesehatan. Perlu diketahui, penggunaan plastik dalam industri makanan adalah kontaminasi zat warna plastik dalam makanan. Sebagai contoh adalah penggunaan kantong plastik (kresek) untuk membungkus makanan seperti gorengan dan lain sebagainya.
Menurut Made Arcana, ahli Kimia Institut Teknologi Bandung yang dikutip Gatra Edisi Juli 2003, zat pewarna hitam kalau terkena panas (misalnya berasal dari gorengan), bisa terturai dan terdegradasi menjadi bentuk radikal. Zat racun itu bisa bereaksi dengan cepat, seperti oksigen dan makanan.Â
Kalaupun tak beracun, senyawa tadi bisa berubah jadi racun bila terkena panas. Bentuk radikal ini karena memilki satu electron tak berpasangan menjadi sangat reaktif dan tidak stabil sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan terutama dapat menyebabkan sel tubuh berkembang tidak terkontrol seperti pada penyakit kanker.
Melihat fenomena yang ditumbulkan oleh budaya konsumtif yang kian hari makin menjadi-jadi, maka sudah sepatutnyalah kita sadar dan menyikapi budaya konsumtif agar tak lagi menjadi salah satu supplier sampah. Tentunya, selain dari berbagai terobosan dan inovasi baru yang diciptakan, maka itu harus dibarengi pulalah dari dalam diri.Â
Mengutamakan kebutuhan daripada keinginan dan menanamkan sikap tanggung jawab terhadap keberadaan sampah adalah salah satu langkah konkrit untuk mengurangi lajur angka sampah yang kian hari menjadi tumpukan dan 'pemandangan' yang seolah tak bisa dilepaskan dari kota- kota besar di Indonesia.
Salah satu cara untuk menekan lajur angka sampah di Indonesia adalah penerapan larangan bagi toko modern dan ritel untuk menyediakan kantong plastik. Terobosan ini diterapkan di Kota Seribu Sungai atau Banjarmasin melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik bagi Ritel dan Toko Modern yang disahkan pada 1 Juni 2016.
Contoh konrit diatas adalah salah satu terobosan dan inovasi yang bisa diterapkan di beberapa bahkan semua kota di Indonesia yang angka sampahnya sangat membengkak. Dengan melibatkan semua pihak terlebih lagi pemerintah, maka bukan tidak mungkin angka sampah di Indonesia bisa ditekan.
Namun, bukan berarti dengan diterapkannya larangan penggunaan kantong plastik bagi ritel dan toko modern maka masyarakat sudah bisa seenaknya untuk berprilaku konsumtif. Tentu jawabnya tidak, perubahan akan prilaku konsumtif haruslah dimulai dari diri sendiri lebih dahulu.Â