Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengikuti Jejak Suri Tauladan Terbaik dalam Moderasi Beragama

28 Mei 2023   08:45 Diperbarui: 28 Mei 2023   08:47 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Damai Itu Indah - tribunnews.com

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai bentuk rahmat dan rasa kasih sayang, karunia, dan nikmat yang diberikan kepada makhlukNya di seluruh alam semesta (rahmatan lil 'alamin). Ini menunjukkan bahwa kehadiran Rasulullah SAW di tengah kehidupan masyarakat mewujudkan rasa kedamaian dan ketentraman bagi alam semesta dan manusia tanpa membedakan agama, suku, dan ras. Rasulullah SAW menjadi rahmat bagi semesta, termasuk di dalamnya adalah hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al Quran, Surat Al Anbiya ayat 107 "Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyatakan, meski redaksi QS. Al-Anbiya' (21) ayat 107 itu sangat singkat tetapi mengandung makna yang sangat luas. Hanya dengan 5 kata yang terdiri dari 25 huruf, termasuk huruf penghubung, ayat ini merangkum empat hal pokok, yaitu:

Rasul/utusan Allah, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW, Yang mengutus beliau dalam hal ini Allah SWT, Yang diutus kepada mereka (al-alamiin); dan Risalah, yang kesemuanya mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah dari kata tersebut.

Istimewanya, kehadiran Rasulullah SAW adalah sebuah kesemestaan yang mengatasi waktu dan tempat, karena bukan saja membawa ajaran, tapi lebih jauh adalah rahmat yang dianugerahkan Allah SWT. Ayat ini tidak menyatakan bahwa: Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Terdapat empat sifat ketauladanan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Siddik (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabliq (menyiarkan), dan Fathanah (cerdas). Sifat ini menjadi dasar kepribadian yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadikannya figur utama dengan segala nilai kebaikan dan egaliter dalam bersosialisasi.

Dalam momen hijrah Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah ke Madinah (Yatsrib) disambut penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Kaum muslimin mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman kaum Quraisy Makkah. Akan tetapi, lingkungan baru tersebut ternyata bukanlah lingkungan yang sepenuhnya kondusif dan tidak memiliki masalah. Secara umum, masalah dasar yang dihadapi pada momentum hijrah ke Madinah dan setelahnya adalah perbedaan latar sosial dan tantangan penghidupan Muhajirin dan Anshar, serta problem perbedaan identitas keberagamaan di dalamnya.

Rasulullah SAW memberikan solusi moderatisme yang tepat dan jitu. Beliau berusaha menyatukan potensi dan kekuatan yang ada dengan semangat menyusun suatu masyarakat baru sebagai kesatuan sosial dan politik yang terus berkembang untuk menghadapi segenap tantangan dan rintangan yang berasal dari dalam dan luar.

Jalan moderatisme Nabi Muhammad SAW jelas tidak pernah mudah. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin disatukan dari latar yang berbeda secara geografis, keimanan, dan adat istiadat. Sebelum bersatu membentuk masyarakat Islam baru di Madinah, kaum muhajirin adalah suku bangsa yang terbiasa dan kerap berselisih. Hijrah ke Madinah, mereka berhadapan dengan masyarakat Madinah lainnya yang belum memeluk agama Islam dan bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat lebih awal menetap. Bukan tidak mungkin, orang-orang Yahudi tersebut berusaha untuk merintangi, bahkan menghancurkan pembentukan masyarakat baru kaum muslimin.

Begitu pula dengan kaum lainnya, yaitu kaum musyrikin Makkah yang merupakan ancaman yang harus selalu dihadapi dengan kewaspadaan penuh. Adalah sangat mungkin jika kaum musyrikin Makkah bekerja sama dengan kaum musyrikin Madinah, atau dengan orang-orang Yahudi, bahkan dengan kabilah-kabilah lain di sekitar Madinah, dalam usaha menghancurkan umat Islam yang baru dibentuk itu.

Atas segala kerumitan relasi dan potensi perpecahan sosial tersebut, Nabi Muhammad SAW menulis sebuah perjanjian untuk membangun dan mengikat perpaduan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Yahudi Madinah (dari suku Aus dan Khazraj) juga turut menandatanganinya. Nabi Muhammad SAW menyetujui untuk menghormati agama dan harta mereka menurut persyaratan yang disepakati bersama. Selain itu, dokumen tersebut berisi kesepakatan untuk menghormati prinsip-prinsip nilai kebebasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan. Perjanjian ini ebih masyhur dikenal sebagai Piagam Madinah. Dengan cara ini, Yatsrib dan sekitarnya dinyatakan sebagai zona perdamaian serta merupakan tempat suci.

Nabi Muhammad SAW adalah seorang moderat, sangat menghargai semua orang walaupun berbeda suku, ras, dan agama. Tentu saja, pandangan moderat Nabi Muhammad SAW diuji oleh sikap perlawanan, fitnah, dan cemoohan pihak yang tidak bersetuju. Namun demikian, terhadap semua tindakan negatif tersebut, Rasulullah Muhammad SAW tetap bersikap lemah lembut. Sikap demikian menimbulkan simpati dan keinginan golongan non muslim untuk memasuki Islam. Selain itu, sifat Rasulullah SAW ini dapat membuat golongan non-muslim yang ada di Madinah mendengarkan seruan-seruan kebaikan dan perdamaian yang disampaikannya.

Lantas mereka yang ketika berdakwah malah mengkafirkan orang lain, merasa benar sendiri, membid'ah kan ritual keagamaan kelompok lain karena tidak sejalan dengan paham yang dianutnya, siapa yang mereka ambil sebagai teladan? Menurut Gus Mus, banyak orang mengaku berdakwah, mengajak kepada Islam, tapi dia sendiri menjauh dari akhlak Islam. Bukannya memberi contoh moral yang mulia, malah mengajarkan untuk membenci sesama, lalu mengobarkan permusuhan kepada siapa saja di luar kelompoknya. Puncaknya menebar teror di mana-mana.

Menurut Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) kunci memiliki sikap pandangan moderat dalam beragama itu satu sebetulnya adalah menambah wawasan, menambah ilmu, menambah teman diskusi dan mau menerima perbedaan, memahami perbedaan, memahami adab dalam berbeda, tidak merasa benar sendiri, itu sebetulnya kuncinya. Ketika dari ustadz, kiai, ulama, para penceramah, apalagi penceramah muda punya semangat itu, insya Allah semangat moderasi beragamanya pasti akan terus menyala. Dia selalu mencari hal-hal yang solutif, selalu mencari sesuatu yang kira-kira nilai manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Selalu juga menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik, melarang kemungkaran dengan tidak melakukan kemungkaran. Itu hal-hal yang juga penting dipahami oleh para tokoh agama, para penceramah, para pemuka agama, khususnya penceramah muda yang di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun