Indonesia terlahir sebagainegara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Indonesia terlahir dengan keragaman suku, budaya, bahasa dan agama. Keragaman ini tentu bukanlah keinginan kita, atau pendiri bangs aini.Â
Keragaman ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua. Karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk menjaganya. Dan salah satu cara untuk bisa menjaganya dengan cara memupuk rasa persaudaraan dan menyatukan perbedaan.
Persaudaraan di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ketika para pemuda dari berbagai daerah mencetuskan sumpah pemuda, hal tersebut merupakan bagian dari komitmen menjaga persaudaraan.Â
Seperti kita tahu, di masa kemerdekaan, penjajah terus melakukan politik adu domba yang berujung terus berseterunya masyarakat ketika itu. Berkat semangat sumpah pemuda, egoism dan primordialisme yang masih kuat ketika itu berhasil dikikis. Meski berbeda-beda, kita semua tetap satu yaitu Indonesia.
Semangat sumpah pemuda ini harus terus kita jaga. Memang setiap 28 Oktober, seluruh masyarakat Indonesia selalu memperingati sumpah pemuda. Namun, semangat ini apakah telah mengakar dalam pikiran kita? Banyak generasi muda yang inspiratif, tapi tidak sedikit yang provokatif. Mari introspeksi.
Sudahkah kita menjadi generasi yang toleran, yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal? Karena nilai-nilai luhur warisan nenek moyang ini, terbukti mampu menjadikan generasi yang tidak lupa akan asal-usulnya.
Di era milenial ini, tak dipungkiri provokasi masih menjadi kebiasaan buruk sebagian orang. Provokasi umumnya mengesampingkan literasi. Sementara kemajuan teknologi informasi, literasi merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindarkan. Kita harus update informasi yang berkembang.Â
Kita tidak boleh percaya berdasarkan katanya si A atau si B. Kita benar-benar harus menjadi generasi yang cerdas, yang bisa membedakan baik buruk, yang bisa mengedepankan logikanya, bukan emosinya.
Yang terjadi saat ini, tidak sedikit para pemuda ini mudah tersulut emosinya. Maraknya intoleransi, radikalisme yang dibungkus melalui provokasi, seringkali membunuh logika kita semua. Kita yang semestinya bisa hidup saling berdampingan, hanya karena berbeda agama, bisa saling bermusuhan.Â
Kita yang semestinya saling menghargai, hanya karena perbedaan pilihan politik, bisa saling mencaci maki. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mengelola perbedaan? Bagaimana agar persaudaraan antar sesama itu tetap terjaga?
Mulai biasakan untuk tidak merasa paling benar, paling hebat, atau perasaan paling yang lain. Karena kecenderungan manusia pasti ingin dianggap paling hebat.Â
Ingat, Tuhan memberikan manusia kelebihan masing-masing. Tuhan juga memberikan tiap suku kelebihan dan kekurangan. Tidak ada manusia atau kelompok yang sama persis. Dan Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, yang sangat membutuhkan pertolongan satu sama lainnya.Â
Manusia tidak bisa melewan kehendak Tuhan. Jika Tuhan meminta manusia saling berinteraksi, saling menghargai, saling tolong menolong antar sesama, maka lakukanlah.
Dan para pemuda yang mempunyai gelora yang tinggi, yang masih mencari jati diri, diharapkan juga bisa mengendalikan emosinya. Jangan mudah saling menyalahkan orang lain.Â
Juga jangan merasa paling benar. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah bukan mencari kesalahan orang lain, tapi merajut keberagaman ini menjadi sebuah tali persaudaraan. Sehingga Indonesia akan tetap tumbuh menjadi negara yang humanis, dan penuh warna. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H