Lebih lanjut ,di dalam hukum perikatan ada yg namanya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 jo 1337 KUH Perdata. apabila tidak melihat dari sifatnya nail down kontrak Freeport dengan pemerintah Indonesia,dalam arti tidak mengikuti aturan dan perundang-undangan yang berubah.,maka kontrak karya jelas bertentangan dengan PP No.45 Tahun 2003 , sehingga dapat mengakibatkan batal demi hukum.
Tapi perlu di ingat asas pacta sun servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) yg artinya perjanjian yg telah dibuat harus dihormati masing2 pihak salah satu pihak tidak bisa mengubah isi kontrak secara “sepihak”, dan jika pemerintah menginginkan renegosiasi, tentu harus dengan persetujuan Freeport untuk melakukan renegosiasi kontrak.
Walaupun renegosiasi tersebut dengan alasan berlakunya UU No. 4 Thn 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara otomatis membatalkan dasar hukum kontrak karya freeport yaitu UU No. 11 Thn 1967 tentang Pertambangan. namun kalo di dalam klausul ditemukan yang ada di pasal 1266 kuhper salah satu pihak bisa saja meminta pengadilan ataupun Arbitrase untuk membatalkan perjanjian tersebut untuk hal ini tepat nya bisa di liat Pasal 32 Undang-undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing, sengketa diselesaikan melalui Arbitrase internasional. artinya kita kalah peluang terbesarnya.
Oleh karena itu,opsi kebijakan pemerintah terhadap kontrak karya Freeport seharusnya untuk melakukan renegosiasi Freeport ketimbang melakukan kebijakan yang beresiko dengan melakukan pemaksaan terhadap kontrak karya yang sudah terlanjur dibuat di tahun 1967 dimana renegosiasi tersebut juga mesti cermat dilakukan karena Freeport selalu berlindung di bawah lex specialis (kontrak bersifat khusus).Renegosiasi ini memang tidak bisa lepas dari lex specialis tersebut.
Renegosiasi kontrak secara tegas diamanatkan pada Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan bahwa: a) kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian; b)ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara; dan c) pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
Sebagai konsekuensinya renegosiasi kontrak harus dilakukan terhadap 37 perusahaan KK dan 76 perusahaan PKP2B yang masih aktif saat ini meskipun kontraknya telah ditandatangani sebelum disahkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sementara ini sampai saat ini proses renegosiasi tersebut masih berlarut-larut dan belum jelas hasilnya, sehingga jika kondisi ini dibiarkan berlanjut maka akan merugikan penerimaan negara dan daerah dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak dan retribusi yang berjumlah triliunan rupiah yang dapat terjadi dalam jangka panjang.
Point-point krusial yang menyebabkan sejumlah perusahaan KK dan PKP2B menolak melanjutkan renegosiasi adalah menyangkut:
- bahwa perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penyesuaian terhadap UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan PP No. 45 tahun 2003 tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini perusahaan beranggapan bahwa KK dan PKP2B masih bersifat Lex Specialist artinya adanya perlindungan terhadap kontrak yang sedang berjalan dari perubahan-perubahan persyaratan dan peraturan yang bersifat umum serta sifat Nailed Down pada KK dan PKP2B artinya kontraktor tidak menjadi subjek terhadap lain-lain pajak, bea-bea dan pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan dan pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya yang sekarang maupun dikemudian hari dipungut, dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam KK dan PKP2B.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penciutan luas wilayah dimana UU No. 4/2009 membatasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) hanya 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar bagi perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam dan WIUP seluas 15.000 (lima belas ribu) hektar bagi perusahaan IUP operasi produksi untuk batubara.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak perubahan dari kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik mineral maupun batubara yang perpanjangannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan cakupan wilayah mineral dan batubara disuatu daerah.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara didalam negeri dengan dua alasan; 1. pembangunan smelter bukan core bisnis mereka, 2. sudah adanya kontrak yang sifatnya jangka panjang antara perusahaan KK dan PKP2B dengan sejumlah perusahaan smelter di luar negeri.
Point penting yang perlu diperhatikan pada renegosiasi Kontrak adalah bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Barubara (PKP2B) tidak lagi bersifat lex specialist dan nail down sejak diberlakukannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhitung sejak tgl 12 Januari 2009 karena bertentangan dengan pasal 128, 129, 130, 131, 132 dan 133 UU tersebut yakni pasal yang menyangkut Pendapatan Negara dan Daerah. Selain itu, Tindakan perusahaan menolak melakukan penciutan wilayah baik untuk KK maupun PKP2B bertentangan dengan pasal 53 dan pasal 62 UU No. 4 tahun 2009.
Dengan demikian tidak ada alasan apapun bagi perusahaan KK dan PKP2B untuk tidak patuh dan harus tunduk terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk renegosiasi KK dan PKP2B tetap dilanjutkan karena jika tidak akan berpotensi merugikan negara dalam jangka panjang dan melanggar undang-undang yang telah disepakati antara Pemerintah dan DPR RI mengingat penundaan ini telah melebihi batas waktu 1 tahun sebagaimana diamanatkan oleh UU Minerba.
Kesimpulan
Kontrak Karya Freeport haruslah menjadi pelajaran bagi pemerintah kedepan nya sehingga tidak lagi menggunakan Kontrak yang bersifat nail down yang seharusnya bisa ikut peraturan sekarang (prevailing law),hal ini berdampak pada royalti pendapatan negara. karena Kontrak Karya bersifat nail down yang sudah ada patokannya,dan perlu diikuti dengan membuat kebijakan keputusan pemerintah terkait penerapan aturan mengenai pajak dan royalti akan bersifat nail down (mengikuti kontrak/tetap) atau prevailing law (berubah-ubah mengikuti aturan yang berlaku). kalo kita mau di sebut negara Hukum maka kita pun tidak boleh main seenaknya. Hukum itu ada biar berarti, harus ditaati oleh semua pihak, termasuk pemerintah.