Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Rakyat Biasa

Penggemar Anime One Piece

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa, Ekologi dan Derrida dalam Menggugat Konsumerisme Religius

16 Agustus 2024   18:39 Diperbarui: 16 Agustus 2024   18:41 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAGOAyzonSc/P7gOByxoW5c8vBvwJ1k3Sg/edit?ui=eyJFIjp7IkE_IjoiViIsIkIiOiJCIn0sIkciOnsiQiI6dHJ1ZX19

Konsep puasa dalam Islam tidak hanya melibatkan abstinensi dari makanan dan minuman, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan kesadaran diri yang mendalam. Pada tingkat ekologis, ada kesamaan antara prinsip puasa dan praktik pemberian waktu kepada tumbuhan untuk tumbuh. Dalam konteks ini, puasa bisa dilihat sebagai metafora untuk memahami dan menghargai siklus alami serta pentingnya memberikan waktu dan ruang bagi tumbuhan untuk berkembang.

Secara makna, Puasa, terutama selama bulan Ramadan, merupakan ibadah yang menuntut umat Islam untuk menahan diri dari makan, minum, dan perilaku tertentu dari fajar hingga matahari terbenam. Selain aspek fisik, puasa juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam, yaitu meningkatkan kesadaran diri, pengendalian diri, dan kedekatan dengan Tuhan. Puasa mendorong manusia untuk me-refleksi-kan serta meningkatkan kesadaran tentang kebutuhan dan tantangan orang lain sekaligus meningkatkan empati dan solidaritas sosial. Selain itu, puasa juga memberikan kesempatan untuk merenungkan siklus alami dan hubungan kita dengan lingkungan.

Bulan Ramadhan: Memberikan Waktu kepada Tumbuhan untuk Tumbuh

Dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai sekitar 276 juta jiwa. Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, dengan sekitar 87% dari total populasi menganut agama Islam. Ini menjadikannya negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Populasi Muslim yang besar ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di Indonesia, termasuk budaya, hukum, dan praktik keagamaan.

Sementara sisi Sumber Daya Alam (SDA) sedang menghadapi berbagai tantangan lingkungan yang kompleks dan mendesak, termasuk deforestasi, polusi udara, dan dampak perubahan iklim. Disilain Fenomena konsumerisme yang meningkat secara signifikan dalam masyarakat urban berkontribusi pada volume sampah yang sangat besar di beberapa tempat salahsatunya Bantar Gebang dengan hitungan perhari 7.500-7.800 ton sampah.

Bulan Ramadan, sebagai waktu untuk refleksi spiritual dan peningkatan kesadaran diri, seharusnya memberikan dampak positif tidak hanya pada aspek spiritual tetapi juga pada perilaku konsumsi dan pengelolaan sampah. Namun, kenyataannya sering menunjukkan bahwa Ramadan tidak selalu berhasil mengurangi sampah justru menambah sampah. Konsumerisme di kalangan Muslim adalah tantangan yang memerlukan perhatian serius, mengingat prinsip-prinsip Islam yang menekankan kesederhanaan, pengendalian diri, dan kepedulian sosial.

Seperti halnya puasa yang melibatkan kesabaran dan penundaan, tumbuhan juga memerlukan waktu dan kesabaran untuk tumbuh. Proses pertumbuhan tanaman melibatkan berbagai tahap, mulai dari benih, pertumbuhan tunas, pembentukan daun, hingga pembuahan. Setiap tahap memerlukan waktu dan perhatian yang sesuai untuk mencapai hasil yang optimal.

Dekontruksi Derrida pada Tradisi Berbuka Puasa

Dimensi ekologis dari momentum puasa menawarkan kesempatan unik untuk mengintegrasikan praktik keberlanjutan dengan praktik spiritual. Dengan kesadaran yang lebih besar tentang pengelolaan sumber daya, pengurangan sampah, dan konsumsi berkelanjutan, puasa dapat memiliki dampak positif pada lingkungan. Sementara itu, melonjaknya konsumerisme di momentum bulan Ramadhan menjadi keanehan tersendiri bagi Masyarakat yang menklaim dirinya muslim, ada semacam tradisi yang perlu di dekontruksi pada alam pikiran muslim tentang praktik puasa.

Tradisi berbuka puasa selama bulan Ramadan sering kali melibatkan penyajian berbagai macam makanan dalam jumlah besar, yang kadang berujung pada pemborosan makanan, inilah yang menjadi alasan mengapa di bulan Ramadhan terjadi peningkatan volume sampah, khususnya di TPS Bantar gebang. Jacques Derrida, seorang filsuf kontemporer yang dikenal dengan teori dekonstruksi, memberikan alat analisis kritis yang dapat digunakan untuk menggugat dan memahami praktik sosial ini.

Dekontruksi Konsep -- (berlebihan / Kelebihan)

Dalam konteks berbuka puasa, "kelebihan" sering kali dipahami sebagai simbol dari kemakmuran dan berbagi. Namun, Derrida akan mengkritik bagaimana simbol ini bisa menjadi tautologi yang menyembunyikan ketidakadilan dan pemborosan di balik nilai-nilai spiritual. Tradisi berbuka puasa yang berlebihan menciptakan hierarki dalam konsumsi makanan, di mana makanan yang melimpah dapat dianggap sebagai tanda status dan kekayaan. Derrida akan mempertanyakan hierarki ini dan bagaimana ia mendukung pemborosan yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip kesederhanaan dan pengendalian diri. Derrida dapat melihat konsumsi makanan dalam konteks berbuka puasa sebagai penanda yang menggantikan makna asli puasa dengan praktik materialistis, di mana kelebihan makanan menjadi simbol yang mendominasi makna spiritual.

Dari perspektif Derrida, tradisi berbuka puasa yang berlebihan dapat dilihat sebagai penghianatan terhadap nilai-nilai inti puasa, yaitu pengendalian diri dan kesederhanaan. Pemborosan makanan menunjukkan ketidaksesuaian antara makna spiritual dan praktik sehari-hari.

Struktur Biner dan Hierarki Sosial

Dekonstruksi Derrida akan menyoroti bagaimana tradisi berbuka puasa yang berlebihan memperkuat struktur biner antara konsumsi dan pengendalian. Penggunaan makanan dalam jumlah besar sebagai bentuk perayaan menciptakan hierarki nilai yang bertentangan dengan prinsip pengendalian diri. Analisis ini akan menunjukkan bagaimana simbolisme makanan dalam tradisi berbuka puasa yang berlebihan berfungsi untuk mendukung hierarki sosial dan budaya, yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip spiritual yang mendasarinya.

Menerapkan pemikiran Derrida untuk mengkritik tradisi berbuka puasa yang berlebihan mengundang kesadaran baru tentang dampak lingkungan dan sosial dari praktik ini. Kesadaran ini mendorong refleksi tentang bagaimana tradisi dapat diperbarui untuk lebih selaras dengan nilai-nilai spiritual.

Dengan menggugat tradisi yang berlebihan, masyarakat dapat mencari cara baru untuk merayakan bulan Ramadan yang lebih sesuai dengan prinsip kesederhanaan dan pengendalian diri, menghindari pemborosan dan mempromosikan keberlanjutan.

Puasa bukan hanya sebuah ritual spiritual, tetapi juga dapat dipahami sebagai praktik yang menumbuhkan penghargaan terhadap alam. Dengan menahan diri dari konsumsi, umat Muslim dapat merenungkan keterbatasan sumber daya dan pentingnya menjaga lingkungan. Puasa menawarkan kesempatan untuk memperkuat hubungan dengan alam, mendorong kesederhanaan, dan mempromosikan keberlanjutan lingkungan. Melalui puasa, penghargaan terhadap alam tidak hanya menjadi sebuah prinsip teologis tetapi juga diterjemahkan ke dalam tindakan konkret yang melindungi dan melestarikan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun