Mengulik soalan cakar (cap karung) di Sul-Sel, khususnya Makassar dan Pare-Pare. Yakni barang (pakaian) bekas yang diimpor
Orang-orang di Sul-Sel menyebutnya cakar, karena dikemas dalam karung. Sementara itu di Sul-Tra disebut RB (rombengan) merujuk pada pakaian lusuh. Pada umumnya orang menyebutnya pakaian bekas atau seken. Namun, bahasa gaulnya adalah thrift.
Di Sul-Sel, pertama kali barang cakar masuk lewat Pare-Pare tahun 1980-an. Dari Malaysia. Dibawa oleh para pelaut. Tak salah jika pasar Senggol Pare-Pare adalah syurganya pakaian bekasbekas dari dulu hingga sekarang.
Pasar cakar juga menyebar di berbagai tempat di Makassar. Di pasar Cidu, pasar Terong, pasar Mandai, jl. Hertasning, pasar Daya, dll.
Mulai yang dijual di atas lapak tenda, dalam kios sederhana, hingga dalam ruko mewah.
Pemerintah sebenarnya telah melarang peredaran barang-barang bekas impor sebab hal itu dapat mengganggu sektor perindustrian tekstil lokal. Belum lagi pakaian bekas dapat menyebabkan gatal-gatal di kulit.
"Itu mengganggu, sangat mengganggu sektor industri tekstil dalam negeri kita. Jadi yang namanya impor pakaian bekas harus disetop." Tegas Jokowi kepada media ketika diwawancarai. (Sumber : akun Ytb kompas.com).
Tapi masyarakat pedagang barang cakar di Mana punya jawaban menohok menanggapi larangan pemerintah tersebut.
"Beras saja diimpor pemerintah. Padahal petani sudah menolak karena menyebabkan harga beras anjlok." Kata seorang pedagang di Makassar. (Sumbernya tak saya cantumkan).
Para pedagang memohon supaya larangan itu dihapus saja. Sebab mereka telah puluhan tahun mengais rezeki lewat jualan pakaian bekas. Dan selama itu pula tak pernah ada yang komplain soal terkena penyakit kulit.
Masih menurut mereka, banyak orang lebih menyukai pakaian bekas sebab kualitasnya bagus. Juga terkadang kalau beruntung, pakaiannya berasal dari merk branded terkenal di dunia. Sementara harganya tentu jauh lebih murah dibandingkan beli baru.
Saya pernah ditanya oleh oleh seseorang hukum menggunakan pakaian bekas sebab hal itu dilarang oleh pemerintah. Jujur ketika itu saya kaget dengan pertanyaannya. Lalu berjanji untuk mengkajinya sebelum menjawabnya.
Terkecuali saat itu saya mengqiyaskannya (analogi) dengan kasus orang shalat di rumah yang ia rampas dari orang lain. Sebagian ulama menganggap shalatnya sah, tapi ia berdosa, sebagian lainnya mengganggap shalatnya batal.
Tapi sejak saat itu pakaian bekas yang terlanjur saya beli tak pernah lagi saya gunakan untuk shalat. Demi kehati-hatian menghindari hal-hal yang dapat mengurangi pahala shalat saya.
Lalu hari ini saya kembali mencari keterangan. Nah, ternyata yang dilarang pemerintah adalah impornya. Sementara jual belinya tak dilarang. Jadi menggunakannya pun tak dilarang. Alhamdulillah, artinya boleh menggunakannya untuk kegiatan apa saja termasuk ibadah.
Hayo, siapa di sini yang suka nyakar?
Hayo ngaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H