"Hah, itu suara Lisa. Tapi di mana?"
Aku mendengar suara lembut Lisa di telingaku. Aku merasakan sentuhan di lenganku. Ini terasa nyata. Aku mengucek mataku. Lisa persis di duduk di hadapanku. Wajahnya penuh rasa heran.Â
"Ayah mimpi, yah? Lisa penasaran.Â
Aku tak menjawabnya. Peluh membasahi kepala dan bajuku. Jantungku berdebar kencang. Badanku bergetar. Aku langsung meraih kepalanya, lalu mengecup dan memeluknya lama. Bersyukur dalam-dalam.Â
"Daffa mana?" Aku balik bertanya sambil melepaskan pelukanku. Aku meraih Handphone di meja dekat ranjang. Jam masih menunjukkan pukul 11 malam.Â
"Daffa tidur di kamarnya. Emang kenapa, Yah? Jawab Lisa. Ia masih penasaran.Â
Ternyata, alhamdulillah, aku hanya mimpi buruk. Tak mungkin aku menceritakan pada Lisa mimpi burukku barusan. Sebab mimpi buruk tak boleh diceritakan.Â
Tiba-tiba pikiranku tertuju pada perbuatan curangku selama ini tanpa sepengetahuan Lisa. Tubuhku bergidik. Perasaan bersalah pada Lisa karena pernah menggoda Ayu, janda cantik teman kantor menguasai pikiranku. Lalu seketika wajah Ayu yang cantik itu berubah menjadi menjijikkan di mataku.Â
Apa lagi yang aku harapkan dari wanita lain? Bukankah banyak teman wanita di kantor memuji istriku cantik. Putih. Lembut. Nyaris tak pernah ia membantahku. Ia sudah tahu kebutuhanku sebelum aku mengutarakannya.Â
Lisaku masih ada. Masih hidup. Tak boleh aku sia-siakan. Tak boleh aku curangi. Aku mencintainya lebih dari siapa pun di dunia itu. Baru mimpi kehilangan Lisa saja sudah membuatku gemetar. Aku tak sanggup membayangkan jika itu benar terjadi.
Aku tak harus kehilangannya agar bisa menyadari bahwa aku benar-benar mencintainya. Betapa banyak orang baru sadar betapa berharganya sesuatu ketika ia sudah hilang.Â