Tak ada lagi wajah yang kelihatan ceria. Ngos-ngosan, capek, lutut lemas, dan peluh membasahi wajah. Di jalur ini kami beristirahat sebanyak empat kali. Untuk minum, menarik nafas dengan baik, menurunkan beban dari punggung, hingga sekadar meluruskan kaki.
Saat alur pendakian ini kami selesaikan, iseng-iseng saya dan pembina bertanya pada para santri apakah mereka menyesal. Mayoritas dari mereka menjawab : "kami betul-betul menyesal." Mereka kena mental.
Untungnya, di situ ada papan bertuliskan kurang lebih begini narasinya : Jangan menyerah sebab perjalanan kami sudah jauh.
Tulisan itu seperti memberi suntikan semangat baru. Padahal baru saja batin berperang antara mundur atau lanjut, yang sepertinya didominasi perasaan ingin menyerah. Akhirnya kami memilih untuk lanjut. Akan lebih menyesal lagi kalau mundur dan pulang. Dan pemandangan indah sepanjang jalur semakin meyakinkan untuk lanjut.
Tanjakan kedua bernama Tanjakan Jaringan yang rutenya mirip dengan tanjakan 1.000 penyesalan kami berhasil lalui.
Tak perlu khawatir kehabisan stok air, sebab sepanjang rute tersedia banyak mata air yang jernih dan segar. Menurut para santri airnya lebih segar dibanding air kemasan yang dijual.
Kami tiba di Danau Tanralili pukul 17.45. Tak sampai tiga jam. Sebuah durasi yang singkat untuk ukuran pemula yang banyak istirahatnya seperti kami ini. Padahal awalnya kami memprediksi akan tiba di malam hari.
Kami ada kesempatan untuk mendirikan tenda, bersih-bersih, dan sebagainya sebelum shalat Maghrib.
Keindahan danau Tanralili benar-benar memanjakan mata. Rasa letih dan capek kami seperti terbayar lunas saat menyaksikannya.
Esok hari, beberapa santri mengusulkan untuk mengunjungi Lembah Lohe, sebuah lembah yang berada di ketinggian 1.930 mdpl. Katanya sangat indah. Sangat disayangkan jika tak ke sana.
Â
Meski tak masuk list perjalanan, tapi akhirnya kami ke sana pada pukul 07.30. Alhamdulillah, perjalanan hanya memakan waktu 30 menit untuk sampai.