Spidi juga memberinya kesempatan mengikuti beberapa lomba dan olimpiade. Sehingga salah satu prestasi terbaik yang berhasil ia rengkuh adalah medali emas olimpiade bahasa Inggris tingkat nasional. Sebuah prestasi yang tak main-main.
Ditambah lagi program edutrip Spidi berupa overseas ke beberapa negara juga menurutnya sangat baik dalam menunjang pembelajaran bahasa asing.
"Di Turki, saat ikut overseas ke sana, mau tak mau, kita harus menggunakan bahasa asing, paling tidak bahasa Inggris." Jawab gadis penyuka film ini.
Sekadar tambahan informasi dari saya kepada pembaca, program overseas Spidi sebagai bentuk edutrip peserta didik rutin dilaksanakan setiap tahun. Jepang, Malaysia, Turki dan Singapura adalah beberapa negara destinasi edutrip yang telah Spidi kunjungi.
Sulpa mengajarkan kepada kita bahwa impian dan cita-cita yang besar akan memotivasi seseorang untuk belajar lebih giat. Dari impiannya untuk bisa berkeliling dunia suatu hari nanti memotivasi dirinya untuk belajar bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Sehingga dengan itu ia bisa mendapatkan prestasi tertinggi di level nasional.
Obrolan kami sebenarnya bukan soal Spidi saja, tapi banyak hal termasuk tentang Papua dan alasan mengapa akhirnya ia bisa "melupakan" Papua.
Sejatinya, gadis manis ini bukan berasal dari Papua. Orang tuanya berasal dari Sulawesi Selatani. Ia lahir di sana lalu pindah mengikuti orang tua ke Wamena saat masih kecil. Namun, cintanya kepada Bumi Cendrawasih itu teramat dalam. Ia menceritakan bagaimana mencekamnya keadaan Wamena saat kerusuhan antar warga.Â
Kantor bupati, pasar, dan rumah-rumah penduduk dibakar massa. Bandara ditutup. Saat itu ia dan keluarganya terpaksa mengungsi di kantor polres. Tapi kerusuhan itu tak membuatnya takut dan trauma. Ia dan keluarganya tak pernah punya niat meninggalkan Wamena karena sudah kadung cinta.
Makanya saat harus meninggalkan Wamena demi bersekolah di Spidi sempat membuatnya "shock". Di awal kedatangannya di Spidi, ia seolah-olah tak percaya bisa meninggalkan Wamena.
Namun, waktu demi waktu bersama teman-temannya di Spidi membuatnya nyaman. Kekonyolan, keseruan, suka dan duka dalam kehidupan berasrama sangat ia nikmati. Membuatnya betah. Belum lagi dengan guru-guru Spidi yang spesial menurutnya. Miss Kiki, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelasnya adalah guru panutannya yang sudah dianggapnya sebagai orang tua kedua.
"Kan beliau wali kelasku. Kalau lagi butuh sesuatu, saya mencari beliau. Beliau selalu memberikan nasihat. Tidak pernah marah sama kami. Pemaaf dan penyayang." Kata siswi penyuka es krim ini.
Lihatlah dalam apa yang Ade Sulpa rasakan. Bahwa dalam kehidupan berasrama anak-anak yang terpisah dengan orang tua dan kampung halaman, harus digantikan oleh orang-orang dan rumah kedua yang membuat mereka nyaman. Sebab jika tidak, mereka tak akan betah di pesantren. Setidaknya, dari Ade Sulpa kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Spidi telah berhasil  mewujudkan rumah kedua yang nyaman buat santri.