Uang Panaik kerap dianggap sebagai mahar. Padahal keduanya berbeda. Karena dalam pelaksanaannya, uang Panaik dan mahar harus ada dalam acara lamaran. Meski dalam pandangan syariat, hanya mahar yang disyariatkan harus ada dalam pernikahan. Uang Panaik berupa uang tunai, sementara mahar berupa seperangkat alat shalat, satu stel emas, tanah, mobil, rumah, dan sebagainya. Tapi tak jarang juga keduanya disatukan dalam satu akad.
Uang Panaik bisa disebut juga sebagai biaya pelaksanaan pernikahan dari pihak calon mempelai pria. Semakin meriah acara yang ingin dilaksanakan, semakin tinggi uang panaiknya. Biasanya juga akan semakin tinggi jika status calon wanita mempelai juga tinggi. Misalnya dia orang kaya, berpendidikan tinggi, atau berasal dari kalangan terpandang (baca: keturunan bangsawan).
Uang Panaik juga menjadi indentitas baru terhadap status pernikahan dalam kehidupan sosial. Semakin tinggi uang Panaik semakin tinggi pula gengsi pernikahan tersebut.Â
Sebagai orang Bugis Makassar mendengar pembahasan tentang uang Panaik tak akan ada habis-habisnya.
Teranyar, kemarin (Sabtu 02 Juni) komisi fatwa MUI Sul-Sel meliris fatwa terbaru mereka tentang uang Panaik. Badan fatwa ini mengatakan bahwa tak ada batasan tertentu dalam yang Panaik. Nominalnya diserahkan kepada kedua belah pihak (orang tua/wali) yang akan menikah yang mana mereka sepakati. Badan fatwa hanya menganjurkan untuk tak memberatkan salah satu pihak khususnya pihak pria.
Mengapa sampai komisi fatwa MUI campur tangan dalam urusan yang sensitif ini? Saya mencoba menjawabnya dari versi pemahaman saya pribadi.
Mungkin saja (saya menggunakan kata mungkin karena ini opini pribadi) karena komisi fatwa MUI Sul-Sel melihat dan mendengar banyaknya pernikahan yang batal akibat uang Panaik yang diminta pihak wanita terlalu tinggi.
Ada ungkapan yang sempat viral yaitu "cintaku tersandung uang Panaik." Atau "dipaksa maju oleh cinta, namun dipukul mundur oleh uang Panaik". Ungkapan-ungkapan di atas merupakan sindiran terhadap tingginya uang panaik di Sul-Sel.
Anda mungkin sering mendengar berita uang panaik yang nominalnya ratusan juta hingga milyaran. Di Bone misalnya, ada seorang wanita diberikan uang Panaik hingga 300 juta rupiah.
Perempuan lain juga dari Bone bahkan mendapatkan panaik yang nominalnya 1.7 milyar. Berupa uang tunai 100 juta, rumah senilai 1 M, dan mobil. Saya melihat akadnya sudah meliputi maharnya.
Masih dari Bone, seorang calon mempelai pria pernah memberikan uang Panaik senilai 3 M kepada pihak calon mempelai wanitanya.
Tapi dibalik tiga cerita mewah yang Panaik di atas, tak bisa dihitung lagi cerita miris tentang uang panaik. Betapa banyak rencana pernikahan batal karena masalah ketidakcocokan uang Panaik padahal si pria dan wanita sudah saling mencintai. Akhirnya yang terjadi kedua anak itu melakukan "kawin lari" yang artinya mereka minggat dari kampung halaman tanpa restu orang tua mereka dan melakukan pernikahan tanpa wali di tempat mereka kabur.
Begitu pula cerita tentang permasalahan pelik, mulai dari putusnya hubungan silaturrahmi, kekeluargaan, persahabatan, hingga pertumpahan darah akibat dari ketidakcocokan uang panaik ini.
Oleh karena banyak fenomena masalah yang timbul akibat uang Panaik ini, komisi fatwa MUI Sul-Sel merasa perlu campur tangan, meski hanya dalam taraf menganjurkan yang tidak memberatkan salah satu pihak.
Uang Panaik sejatinya dimaknai sebagai simbol penghormatan kepada wanita dan juga simbol keseriusan calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya.
Di sosial media pembahasan uang Panaik yang tinggi kerap kali mendapatkan komentar pro kontra dari netizen. Sebagian melihat uang panaik yang tinggi sama dengan menjual anak wanita. Biasanya  komentar seperti itu dituliskan oleh pria. Dan mendapatkan balasan dari para wanita dengan kalimat olokan "makanya bekerja yang keras demi mendapatkan uang banyak jika ingin mendapatkan wanita terbaik."
Apa pun itu, jika jika masalah ini dikembalikan pada kaca mata syariat Islam. Maka akan ada solusi. Nabi pun tak memberikan batasan tertentu pada mahar. Hanya beliau menganjurkan mahar yang ringan. Semakin ringan maharnya, semakin baik pernikahan tersebut. Juga solusi lain dari Nabi adalah jika yang datang melamar itu adalah pria yang baik dan shalih, maka terimalah ia. Sebab kategori pria shalih, itu yang terbaik meski tak punya banyak harta. Bukan karena ia kaya, keturunan bangsawan, dan sejenisnya.
Saya teringat ucapan Umar bin Khattab "nikahkanlah anak wanitamu dengan pria yang shalih, sebab jika suatu saat ia tak suka pada anakmu, ia tak akan menyakitinya."
Benar sekali. KDRT sering kali terjadi pada istri karena pemahaman agama suami yang tak baik.
Oleh karena itu, sebaiknya pilihlah laki-laki yang shalih yang baik akhlak dan agamanya. Tapi jika ada yang baik agamanya, kaya, gagah, itu lebih baik. Ada, gak, yah yang seperti itu?!! Tentunya banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H