2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhira, (penyimpangan,) dan ikhtilaf (perbedaan).
3. I'tidl (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.Â
5. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.Â
6. Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.Â
7. Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah 'ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah 'ala alqadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi alashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan).
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diterapkan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah. 9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik. Demikianlah konsep yang ditawarkan oleh Islam tentang moderasi beragama di Indonesia, sehingga konsep tersebut diharapkan mampu untuk diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sehingga dengan konsep moderasi ini akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, tidak ada diskriminasi dalam keberagaman.
Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.Â
Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah.Â
Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan demikian adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengah-tengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme beragama sebagai cara pandang, sikap dan perilaku melebihi batas-batas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama. Karenanya, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Tentu perlu ada ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong moderat atau ekstrem. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.Â
Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan (Saifuddin 2019).