Mohon tunggu...
Akhmad Sekhu
Akhmad Sekhu Mohon Tunggu... wartawan - profesional

Akhmad Sekhu lahir di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, besar di "Kota Budaya" Yogyakarta, kini hijrah ke "Kota Gelisah" Jakarta, yang insya Allah dalam hidupnya ingin selalu berkarya. Menulis berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film-musik, telaah tentang televisi di berbagai media massa, juga banyak mengerjakan penulisan buku biografi karier dan kisah kehidupan, kini bekerja sebagai wartawan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Semangat dalam Sepucuk Surat

19 Oktober 2009   23:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:35 2539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Yanti, teman sebangkunya, hanya bisa geleng-geleng kepala dan kemudian memberinya tanda jempol sebagai penghargaan Nayna dapat bergerak cepat sehingga tidak keduluan Bu Marhamah, guru statistik yang mengajar pada jam pelajaran kedua yang dikenal killer itu. Kalau keduluan bisa dipastikan ia tentu akan mendapat hukuman. Ya, cukuplah satu hukuman saja, demikian selalu harapan Nayna setiap akan diajar Bu Marhamah pada jam pelajaran kedua.

Masih dengan keringat yang bercucuran, Nayna langsung mengikuti pelajaran, sungguh tak sempat menyeka sehingga setetes keringat jatuh ke atas buku dan merembes pada kertas melunturkan tulisan sehingga huruf-huruf yang dilaluinya seperti mabuk. Tapi secepatnya Nayna dapat mencegah rembes tetesan keringat itu lebih luas.

Jam pelajaran statistik berjalan dengan lancar dan Nayna mengikutinya dengan konsentrasi penuh sehingga dapat menangkap ilmu yang diajarkan sang guru.

Kemudian, teng, teng, teng! Bel berdentang mengakhiri pelajaran Sehingga anak-anak langsung siap-siap membereskan buku pelajarn untuk secepatnya istirahat.

Ya, jam istirahat tiba, tapi Nayna tidak ke kantin seperti yang biasa dilakukan teman-temannya, melainkan tetap di dalam kelas untuk makan dari kotak makanan yang sudah ia siapkan dari rumah. Nasi putih dengan lauk tempe dan sayur sop tentunya cukup membuatnya kenyang. Uang saku yang diberi sang ayah tak seberapa dan itu pun harus ditabung. Ia memang rajin menabung, meski uangnya tak seberapa, tapi sedikit demi sedikit ditabung tentu akan menjadi cukup untuk sebuah cita-cita dapat membeli formulir ujian masuk perguruan tinggi negeri. Sekolah di bangku SMU ia mendapat beasiswa jadi dapat meringankan beban ayahnya yang bekerja serabutan dan penghasilannya pas-pasan hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

“Lalu dimana ibumu sekarang? bertanya Yanti karena saking penasarannya.

“Entahlah, aku tidak tahu ibuku sekarang dimana,jawab Nayna dengan wajah yang begitu berat. Berat oleh rindu pada sang ibu yang telah meninggalkan dirinya sejak ia masih kelas empat SD dan adiknya pada waktu itu masih tiga bulan. Sang adik baru seumur jagung dan termasuk masih bayi karena baru beberapa bulan dilahirkan.

Adapun ibu yang sekarang berada di rumahnya adalah ibu tiri, tapi tidak kejam, seperti yang dulu ia takutkan karena termakan hasutan orang-orang untuk hati-hati pada ibu tiri yang biasanya kejam dan hanya cinta pada ayahnya saja.

Seorang ibu tiri yang dinikahi ayahnya hanya untuk menenami karena konon menurut orang-orang katanya lelaki paling tidak tahan hidup sendirian dan memang kesepian ditinggal pergi istrinya. Ya, ibu tirinya hanya bertugas menemani sang ayah, tidak ada yang dikerjakannya selain hanya menemani karena semua pekerjaan rumah, mulai dari masak, mencuci pakaian, menyapu halaman, mengepel lantai, sampai membersihkan kamar ayah dan adiknya. Semuanya dikerjakan Nayna sendirian saja. Sementara itu, adiknya masih terlalu kecil untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sebanyak itu dan ia amat sangat sayang dengan adiknya sehingga tidak ingin sang adik ikut susah-payah mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sangat melelahkan.

Sang ibu tiri tampak seperti manekin di etalase toko yang kesehariannya hanya merias diri, menampakkan senyum manis meski hidup bersama ayah Nayna pahit karena serba kekurangan, dan terakhir yang wajib dilakukan adalah ia harus bisa menemani sang ayah yang kesepian semenjak ditinggal ibu kandung Nayna yang pergi entah kemana.

“Masa sih ibu tirimu tidak mengerjakan apa-apa? Yanti bertanya karena merasa kasihan mendengar semua pekerjaan rumah dikerjakan Nayna sendirian saja, betapa makin iba teman sebangkunya itu melihat keringat mengucur deras di kening Nayna yang tampak kelelahan. Kucuran keringat yang menyiratkan akan gegap semangat untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah demi mempertahankan rindu pada ibu kandungnya yang pergi entah sekarang dimana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun