Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Timnas dan Ilusi Kontrol Kita

31 Desember 2021   15:33 Diperbarui: 1 Januari 2022   04:45 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riki tentu senang bukan kepalang atas lolosnya Tim Nasional ke final gelaran Piala AFF 2020, meskipun dengan sengaja dia berhenti menonton sejak Ezra Walian mencetak gol pada menit ke-11. 

Riki percaya, setiap kali dia menonton Timnas bertanding dalam gelaran resmi, selalu saja Tim Garuda kalah. Bahkan dia percaya kesulitan Timnas pada semifinal putaran kedua tersebut akibat kecerobohannya menonton, meskipun sebentar. 

Beda dengan Riki, Karyono mengaku menyesal telah mencuci kaos lawas Timnas untuk gelaran final. Dia percaya, kekalahan telak leg pertama lawan Thailand adalah akibat kecerobohannya mencuci kaos tersebut.

Mungkin, di antara anda yang sedang membaca tulisan ini juga memiliki kepercayaan-kepercayaan khusus yang anda yakini memiliki kendali besar atas peristiwa tertentu. Kepercayaan tersebut bisa berupa barang-barang, aktivitas sampai hanya keberadaan kita dalam suatu tempat. 

Meskipun berkali-kali kita menampiknya, nyatanya sebagian dari kita bersikeras untuk terus melakukannya, karena merasa hal tersebut akan meningkatkan peluang kemenangan tim atau atlet yang tengah kita dukung. 

Pertanyaannya adalah mengapa manusia seringklai percaya bahwa dia memiliki kendali lebih besar atas dunia daripada yang sebenarnya?

Psikologi Ilusi Kontrol

Ilmu pengetahuan telah lama mendiskusikan teori, ritual, dan kebiasaan yang melekat dalam gagasan kita tentang menang dan kalah, atau akhir dari peristiwa yang akan terjadi. 

Psikologi menyebutnya sebagai ilusi kontrol (illusion of control), salah satu jenis bias kognitif yang menjelaskan bagaimana kita percaya bahwa diri kita memiliki kontrol lebih besar atas suatu peristiwa melebihi dari apa yang benar-benar kita lakukan. Bahkan jika hal tersebut adalah masalah kebetulan, kita sering merasa bahwa kita dapat mempengaruhinya dengan cara tertentu.

Adalah Ellen Langer, ahli psikologi dari Harvard adalah orang yang pertama memperkenalkan istilah ilusi kontrol lewat artikelnya yang diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology. 

Langer (1975) menemukan bahwa kepercayaan orang terhadap peluang mereka untuk menang dipengaruhi oleh banyak faktor yang berbeda, bahkan tidak ada yang benar-benar memiliki hubungan langsung dengan peluang. 

Sebelumnya, banyak penelitian juga telah menetapkan bahwa orang memiliki kecenderungan untuk melihat hubungan sebab akibat di tempat yang sebenarnya tidak ada. Jenis fenomena ini secara luas dikenal sebagai ilusi kausalitas (illusion of causality). Ilusi kontrol adalah jenis tertentu dari ilusi kausal.

Konsep penting lain dari teori Langer adalah hipotesis "dunia yang adil." Konsep yang mirip dengan karma, percaya bahwa hal baik terjadi pada orang yang melakukan hal baik, dan hal buruk terjadi pada orang yang melakukan hal buruk. 

Seperti ilusi kontrol dan ilusi kausal lainnya, hipotesis dunia yang adil menempatkan penjelasan kausal untuk peristiwa tanpa harus menerapkan alasan atau logika yang tepat.

Olahraga, Cinta dan Harapan

Ilustrasi gambar: istockphoto.com
Ilustrasi gambar: istockphoto.com

Meski ilusi kontrol dapat terjadi dalam kejadian apapun dan kapanpun, namun riset membuktikan bahwa penggemar olahraga adalah jenis kelompok yang rentan dikendalikan oleh jenis bias kognitif ini. Kecintaan dan harapan adalah alasan utamanya. 

Kita sangat rentan terhadap perasaan bahwa kita memang memiliki pengaruh, terutama pada hal-hal yang sangat kita cintai dan harapkan. Padahal faktanya hal tersebut (seperti pertandingan Timnas) di luar kendali kita.

Kita sangat rentan terhadap perasaan bahwa kita memang memiliki pengaruh, terutama pada hal-hal yang sangat kita cintai dan harapkan.

Untuk mengurangi perasaan tidak berdaya, penggemar mengembangkan upaya untuk mengontrol hasil pertandingan. 

Evolusionis psikologi menyebut manusia sangat mencintai prediksi, untuk itu mereka telah menyempurnakan keterampilan mengumpulkan dan memproses informasi untuk menemukan pola teratur yang membantu mereka memprediksi hasil masa depan dari suatu peristiwa. 

Jangan heran bila saat pertandingan dimulai, kita seringkali lupa dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak berhubungan langsung dengan pertandingan (seperti ilustrasi di awal tulisan ini) dan berharap tindakan tersebut mempengaruhi hasil pertandingan. Dan tentunya juga sesuai prediksi kita.

Sebenarnya kita tahu bahwa hasil pertandingan bisa saja sangat liar dan jauh dari prediksi, tetapi kita tidak dapat menahan diri untuk mencoba mempengaruhi hasil dengan mengadopsi beberapa perilaku (bahkan ritual takhayul) saat menonton. 

Terlihat naif memang, namun hal tersebut adalah mekanisme kognitif yang mengurangi kecemasan kita dan memfokuskan kita pada permainan. Ilusi tersebut juga membantu menciptakan rasa kontrol imajiner atas hasil tak terduga.

Ilusi tersebut juga membantu menciptakan rasa kontrol imajiner atas hasil tak terduga.

Menang OK, Kalah Juga

Namun begitu, banyak penelitian menyebutkan bahwa ilusi kontrol meningkat tanpa kita sadari saat harapan kita akan sesuatu meningkat (Toneatto, 1999; Yarritu et al., 2014). 

Jangan heran, jika hari-hari ini banyak orang mendadak menjadi pemerhati dan bahkan ahli statistik, sejarah pemain, pelatih bahkan keluarga Timnas dan masih banyak lagi. 

Mengapa demikian? Inilah usaha ekstra yang dilakukan banyak orang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi positif tentang Timnas. Pengetahuan ekstra ini membuat kita melebih-lebihkan kemampuan kita untuk memprediksi suatu hasil. Inilah senyatanya ilusi kontrol.

Kekeliruan melihat hubungan kausal antara masa lalu dan kinerja masa depan adalah hal yang umum bagi penggemar olahraga. Begitu juga bagi penggemar Timnas Indonesia. 

Kita cenderung berpikir peluang masa depan tim favorit kita memenangkan permainan sangat dipengaruhi oleh sejarah mereka sebelumnya. Bagi seorang dengan ilusi kontrol, dia dapat memperluas sejarah bukan hanya dalam sejarah kompetisi masa lalu, tapi perjalanan kompetisi saat ini seperti catatan statistik, itupun dipilih yang paling mendukung. 

Seperti produktivitas gol, konversi kesempatan daln lainnya. Jika itu tidak cukup, maka mereka juga melihat sejarah diri mereka saat menyaksikan pertandingan final-final di masa lalu. Apabila nanti ternyata tim asuhan STY menang, maka semakin kuatlah ilusinya untuk masa yang akan datang.

Namun, jika ternyata Tim Merah Putih nanti kalah, mereka yang mempercayai ilusi kontrol akan dengan mudah melakukan rasionalisasi bahwa tim ini tidak sepenuhnya kalah. 

Atau bahkan mereka semakin memperkuat ilusinya dengan mengatakan bahwa hasilnya akan jauh lebih buruk jika mereka tidak melakukan hal-hal tertentu. 

Kemudian mereka akan mencari tanda-tanda harapan untuk masa depan, dan mencari dukungan sosial dari sesama penggemar lainnya untuk semakin menegaskan ilusinya.

Mengontrol Ilusi Kontrol

Ilusi kontrol dapat mendorong kita untuk membuat keputusan yang tidak rasional, yang mengarah pada hasil negatif yang seharusnya dengan mudah dihindari. Perjudian adalah contoh utama. 

Bagi penjudi, bahkan dalam kasus dimana semuanya sepenuhnya kebetulan, orang sering merasa bahwa mereka dapat mengubah peluang sesuai keinginan mereka, dengan kepercayaan yang bermuara dari ilusi kontrol.

bahkan dalam kasus dimana semuanya sepenuhnya kebetulan, orang sering merasa bahwa mereka dapat mengubah peluang sesuai keinginan mereka, dengan kepercayaan yang bermuara dari ilusi kontrol.

Tentu saja bias ini sering dimanfaatkan dalam iklan produk judi. Sebuah studi tahun 2017 menemukan bahwa iklan ini biasanya mengecilkan risiko judi dengan mengangkat tema maskulinitas dan pengetahuan olahraga. Tujuannya untuk membangun narasi bahwa pria yang macho dan paham olahraga memiliki peluang lebih baik untuk menang.

Ilusi kontrol menyerang seseorang yang meninggalkan rasio dan logika. Oleh karena itu, kata Matute dkk., (2015) mengunyah informasi dari eksternal dan berpikir kritis ilmiah adalah hal yang terbukti secara ilmiah membebaskan kita dari jeratan ilusi kontrol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun