Mereka sepenuhnya menyadari konsekuensi potensial dari tindakannya, terbongkar dan ditangkap.Â
Mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk mengabaikan kesadaran tersebut, sambil mempertahankan rasa tak terkalahkan.Â
Mereka menghilangkan pertimbangan hati nurani untuk berperilaku sesuka mereka tanpa memperhatikan kerusakan emosional, fisik, atau lainnya yang mungkin mereka timbulkan.Â
Ketika akhirnya tindaknnya terbongkar, penyesalan utama mereka adalah tertangkap. Hanya sedikit saja penyesalan bagi korban.Â
Sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai korban karena konsekuensi tidak menyenangkan yang harus mereka hadapi, seperti perundungan di media, media sosial dan lainnya.
Menyiapkan Masa Depan
Fakta telah membuka mata kita, bahwa kejahatan seksual bisa terjadi di manapun, dilakukan oleh siapapun. Selain kewajiban kita akan korban (pengesahan UU-PKS) kita tidak boleh lengah dan menyiapkan lingkungan yang lebih ramah di masa depan.Â
Kita bisa memulai dari pondasi pendidikan. Pendidikan harus melihat anak-anak secara setara dalam hal potensi.Â
Jangan hanya menyiapkan anak-anak kita untuk antisipasi sebagai korban, siapkan juga mereka untuk mengantisipasi dirinya agar tidak menjadi pelaku.
Riset menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukan hanya lahir dari gagalnya manusia mengendalikan hasrat seksualnya dalam jalur moral. Namun juga bagaimana manusia mengendalikan hasrat mereka untuk mengeksploitasi saat memiliki kekuasaan.Â
Sebuah tindakan yang bisa saja diputuskan pelaku hanya dalam beberapa detik saja. Ia adalah sebuah pengambilan keputusan. Bisa jadi, ia lahir dari tempat yang sama dengan hal-hal sederhana lainnya seperti memutuskan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak mengebut saat di jalan raya, menghadiri acara tepat waktu, membeli barang sesuai kebutuhan atau banyak hal sederhana lainnya dalam keseharian kita.Â